Bukan karena hari ini indah, kita menjadi bahagia.
Tapi karena kita bahagia, maka hari ini jadi indah.
Bukan karena rintangan, kita jadi optimis.
Tapi karena kita optimis, rintangan jadi tak terasa.
Bukan karena mudah, kita yakin jadi bisa.
Tapi karena kita yakin bisa, maka semua menjadi mudah.
Bukan karena semuanya baik, kita jadi tersenyum.
Tapi karena kita tersenyum, maka semuanya jadi baik :)
Life is beautifull :)
With love ,
Dedott :*
Jumat, 17 Februari 2012
Kamis, 02 Februari 2012
Panji Iswani :*
Aku merebut remote televisi yang bocah
lelaki itu pegang. Lalu kuganti channel TV ke nomor 1, RCTI.
Bocah itu balik merebut remote dan
mengembalikan ke channel sebelumnya.
“Ih apaan sih, gantian tau liatnya! Lagi
iklan juga, mau liat Doraemon!” Bentakku sambil kembali merebut remote yang
masih berada di tangannya.
Dia menjauh, dan melempar bantal kursi
padaku. “Yee, ini juga baru sebentar! Diganti-ganti terus, ini juga Power
Rangernya udah mau mulai!” Katanya memeletkan lidah.
Aku membuang bantal kursi yang tadi
mengenai wajahku. Lalu ku pukul lengannya seraya mengambil kembali remote TV.
“Mamaaaaa, kaka nakal!” Serunya keras
sambil gantian memukulku.
Aku
rindu saat-saat seperti itu, Minggu pagi yang ramai karena perebutan remote TV.
Dia bernama Panji Iswani, adik lelakiku satu-satunya. Usia kami hanya terpaut
satu tahun. Aku lahir pertengahan tahun 1995, dan dia menyusul pada Desember
1996, 2 hari sebelum tahun baru 1997. Tubuhnya lumayan gemuk dan besar. Jika
aku mewarisi tinggi badanku dari Papa, maka dia mendapatkan kulitnya yang putih
turunan dari Mama.
Dulu sewaktu aku TK, dia tidak mau kalah
denganku. Dia ikut-ikutan belajar di TK yang sama denganku. Kadang dia suka
ikut ke sekolahku, walaupun tidak memakai seragam TK, tapi dia ikut bermain dan
belajar di kelas bersamaku. Teman-temanku, berarti temannya juga. Setelah aku
lulus dari TK dan mulai memasuki bangku SD, dia kembali bersekolah TK, tapi di
tempat yang berbeda dari TK-ku dulu.
Saat akhirnya dia menjadi adik kelasku
di SD, bagiku dia sangat menyulitkan. Dia senang sekali jajan. Jika uang
jajannya habis, maka saat jam istirahat dia akan menunggu di depan kelasku, dan
meminta uang kepadaku. Meskipun kesal karena setiap hari seperti itu, toh aku
selalu memberikan sebagian uangku kepadanya. Sewaktu kecil, rasa-rasanya kami
jarang sekali bertengkar. Setiap sore, kami berdua dan anak-anak lain di
sekitar rumahku selalu mengaji di masjid desa kami. Kadang aku yang
mengajarinya membaca Iqro’. Sudah berulang kali kuajarkan tapi dia tidak juga
bisa. Aku marah dan mengajarinya dengan membentak-bentak supaya dia paham.
Akhirnya dia hanya menunduk diam. Aku jadi tidak tega :p
Lama-kelamaan, anak-anak di desaku
jarang pergi ke masjid untuk mengaji, mereka mengaji di rumahnya masing-masing.
Aku dan adikku akhirnya mengaji di masjid yang agak jauh dari rumahku. Guru
mengaji kami adalah seorang guru agama di sebuah SD. Tiap sore sekitar jam
setengah 3 sampai jam 4 lewat, kami mengaji sekaligus mempelajari ilmu agama
seperti yang diajarkan di sekolah. Pulang mengaji, kami selalu ke tempat Budhe
yang jaraknya dekat dengan masjid itu, menunggu Papa menjemput.
Di rumah, aku dan Panji sering bermain
berdua. Kami bermain petak umpet. Dia lebih sering kalah dibandingkan denganku.
Kami juga pernah sangat tergila-gila dengan bulu tangkis. Kami merengek-rengek
pada Mama agar dibelikan sepasang raket dan kok. Saat akhirnya benda itu kami
dapatkan, tiap sore kami bermain bulutangkis di halaman depan rumahku yang
lumayan luas. Mama dan Papa duduk di beranda sambil melihat kami berdua
bermain. Sekali-sekali mereka ikut bermain bergantian dengan kami.
Dulu sewaktu SD, kami tidur bersama
dalam satu kamar yang berisi dua kasur. Kami masih suka tidur ditemani Mama.
Kalau Mama menemani kami tidur, kami akan banyak bertanya tentang berbagai
macam hal. Seperti, ada apa di balik awan, atau mengapa kita tidak bisa melihat
Tuhan. Mama akan menjawab semua keingintahuan kami, dan menyanyikan lagu-lagu
daerah sampai kami berdua tertidur. Baru kemudian beliau menyelimuti kami
berdua dan pergi ke kamarnya sendiri. Kadang, kami sekeluarga, Papa, Mama, aku,
dan adikku tidur bersama di kamar kami. Kasur dijadikan satu, aku dan adikku
tidur diantara Mama dan Papa. Kami tertawa dan mengobrol sampai terlelap dalam
mimpi. Aku sangat merindukan saat-saat seperti itu :’)
Malam hari di rumah adalah waktu yang
menyenangkan karena kami sekeluarga berkumpul. Papa minum kopi di ruang tamu
sambil memandangi ikan-ikan mas koki di aquarium. Mama menyetrika baju, Nenek
menonton TV, aku dan Panji mengerjakan PR. Kalau ada soal yang sulit, adikku
akan bertanya pada Mama, tapi karena Mama sibuk menyetrika, lebih sering Mama
menyuruh adikku untuk bertanya padaku. Aku sering kesal jika adikku bertanya sementara
aku sedang konsentrasi mengerjakan soal-soal hitunganku. Padahal di buku
materinya kan ada, tapi karena malas membaca, dia seenaknya saja bertanya. Jika
masalah matematika, kami berdua tahu harus minta ajari pada siapa. Ya, tentu
saja pada Papa. Papaku jago dalam pelajaran Matematika. Beliau akan dengan
sabar mengajari kami, dan mengingatkan jika kami salah dalam menghitung.
Saat Papa dan Mama pergi menginap ke
rumah Nenek yang di Pangandaran, aku dan adikku harus bergotong royong
membersihkan rumah. Aku mengerjakan pekerjaan dapur dan mencuci, dia yang
menyapu dan mengepel. Walaupun masih kecil dan seorang laki-laki, tapi dia
mengerti tugasnya. Kadang dia juga akan memasak makanannya sendiri jika tidak
suka dengan menu yang aku buat. Jika aku memasak sayur, dia tidak akan mau
memakannya. Entah kenapa dia anti sekali dengan sayur, padahal waktu balita,
makanan kesukaannya adalah sop. Dia lebih sering membuat telur atau mie goreng
sendiri.
Aku sering sekali menjahili adikku yang
satu ini. Misalnya saja, pada hari Minggu, Mama sedang memasak. Aku sehabis
mandi dan melewati Mama di dapur. “Ka, Mama beliin kecap sama Masako ya.
Uangnya ambil di kamar.” Perintah Mama padaku. Aku mengangguk dan segera
mengambil uang di kamar Mama. “De, kata Mama suruh beliin kecap sama Masako di
warung. Cepet ya.” Ujarku pada Panji yang sedang asyik melihat kartun di depan
TV. Dia sedikit mengeluh, tapi kemudian beranjak ke warung. Aku tertawa puas,
padahal aku yang diperintah, tapi aku bilang padanya bahwa adikku itu yang
dimintai tolong. Jika sudah kembali dari warung, aku yang menyerahkan
belanjaannya ke Mama, sehingga Mama taunya ya aku yang tadi ke warung. Hhahaha
:D Berkali-kali aku melakukan hal ini, bahkan juga hal lain seperti menyiram
bunga, atau menyapu halaman. Tapi kemudian adikku tahu dengan sendirinya, dan
dia bisa menolak dengan berkata, “Ih, Dede denger yang disuruh Kaka. Kalo Kaka
ga mau ya udah, nanti Dede bilangin ke Papa, weekk.” Jika sudah seperti itu,
akulah yang akhirnya mengerjakan tugasku sendiri.
Menurutku, Panji adalah seorang anak
lelaki yang manja. Walaupun dia punya banyak teman bermain, tapi kalau di
rumah, dia tidak mau apa-apa kalau tidak dengan Mama. Kalau aku nakal padanya,
dia sering mengadukanku pada Papa sehingga aku sering dimarahi. Bahkan kadang
jika dia yang nakal padaku, aku yang diadukan, dan dia pura-pura menangis. Aku
ingin marah, tapi toh yang dipercaya adalah adikku. Beranjak besar, kami jadi
sering sekali bertengkar, kadang hanya bercanda, kadang sampai dia benar-benar
marah. Kami sampai saling memukul dengan sapu, berkejaran sampai halaman,
membuat Mama berteriak jika kami bermain kejar-kejaran dan heboh mengelilingi
Mama yang sedang memasak di dapur. Tapi bila sudah marah, adikku akan langsung
masuk ke kamar, membanting pintu, dan menguncinya dari dalam. Aku sering
mengejek kebiasaannya marah ini. “Ih laki-laki kok kalo ngambek ngunci kamar,
malu woy malu, entar bilangin ke pacarnya! hahaha.” Ujarku keras-keras dari
depan pintu kamarnya. Dia hanya menendang pintu untuk menjauhkanku.
Ngomong-ngomong, Panji adalah adik yang
asyik untuk diajak curhat. Jika meminjam hapeku untuk ngegame dan melihat
wallpaper hapeku seorang lelaki, dia akan bertanya, “Ini siapa ka?” dan aku
menceritakan padanya bahwa lelaki itu adalah pacarku. Sambil bermain game, dia
mengangguk-angguk mendengarkan ceritaku. Jika pacarku main ke rumah,
sepulangnya, adikku kembali bertanya, “Itu yang tadi main pacar kaka ya? Yang
waktu itu kaka ceritain?”
Kadang,
jika aku sedang galau sendiri, aku bercerita padanya. Walaupun ia tidak paham,
toh dia akan tetap mendengarkan. Dan jika ada lelaki lain yang main ke rumah,
adikku akan bertanya-tanya, kemudian membandingkan dengan pacarku yang
sebelumnya. Kalau aku baru putus dengan pacarku, dengan setengah emosi aku
menceramahinya, “Kalo jadi laki-laki harus setia loooh, jangan kaya si *sensor*
itu, mainin cewek aja bisanya. De, kalo punya pacar besok jangan disakitin,
entar kena karma!” Ujarku berapi-api. Panji hanya mengangguk-angguk. “Iya iya, Dede
juga kalo punya pacar ga mau yang kaya Kaka ah.” Katanya sombong. “Loh ko
gituuu?” Aku melotot marah. “Iya lah, kan Kaka mah ganti terus, playgirl cap
kabel pedot.” Adikku lari sambil menjulurkan lidahnya. Aku mengejarnya sambil
mengomel-ngomel :D
Aku dan adikku sama-sama menyukai kucing.
Kami memelihara banyak sekali kucing di rumah. Pertamanya dari kucing betina
milik tetangga yang diberi nama Porong (nama yang aneh). Saat Porong beranak,
aku memintanya satu. Adikku memberinya nama Mengki. Saudara Mengki yang tinggal
di rumah tetangga ada yang dinamai Mingka, Mangki, dan sebagainya seperti nama
kembar. Keturunan berikutnya juga diberi nama yang mirip-mirip seperti Pingka,
Pingki, Moci, Poci, Eki, Uci. Sekarang sudah sampai keturunan ke-4. Setiap hari
kami bermain dengan kucing, bergantian memberi makannya, dan tiap Minggu kami
memandikannya. Kucing-kucing kami tidur di sofa di ruang TV. Panji sangat
menyayangi kucing-kucing kami. Dia akan marah padaku bila aku menjahati mereka.
Dia juga akan merasa iri jika aku bermain dengan Poci atau Moci, sehingga dia
akan langsung merebutnya dan mengajak mereka untuk bermain bersamanya.
bersama meong :*
Disamping kelakuannya yang lebih sering
menyebalkan, yang kubangga dari adikku adalah prestasinya di sekolah. Sejak SD,
dia tidak mau kalah denganku. Dia sering menduduki peringkat 1 atau 2 di
kelasnya. Jika aku mendapat ranking 1 dan kebetulan dia ranking 2, aku dengan
puas menindasnya, haha :D Saat SMP prestasinya agak menurun. Aku tidak tahu
kenapa. Mungkin karena sering bermain. Dia memang sangat suka bermain PS. Jika
sudah PS-an, dia sering lupa waktu dan akan menjadi sasaran kemarahan Mama. Aku
sih ikut-ikut nimbrung memarahinya saja :p
Sejak aku duduk di bangku SMP, hubungan
kami menjadi agak renggang. Aku paham, sebagai seorang anak lelaki yang sedang
tumbuh, pasti dia akan malu jika masih bermain dengan kakak perempuannya. Dia
lebih sering bergaul dengan anak laki-laki teman sebayanya. Mungkin di matanya,
aku adalah seorang kakak yang cerewet dan suka marah-marah, tapi sebenarnya aku
selalu mengkhawatirkan dia. Jika dia pulang sekolah sendiri, aku takut terjadi
apa-apa padanya. Saat study tour SD, aku takut dia mabuk di perjalanan, dan tidak
bisa apa-apa disana. Saat dia mengikuti perlombaan mewakili sekolah, aku
khawatir dia kalah lalu kecewa pada dirinya sendiri. Padahal seharusnya aku
tahu, adikku lelaki yang kuat. Dia bisa sendiri tanpa aku atau Mama, dia juga
bisa mengatasi masalahnya sendiri.
Saat aku tinggal di Jogja untuk sekolah,
aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku senang karena tidak tinggal seatap
lagi dengan adikku yang menyebalkan itu. Aku tidak perlu berebut remote TV
lagi, tidak perlu setengah hati saat berbagi eskrim atau semangkuk bakso. Tidak
perlu berebut kamar mandi lagi tiap pagi, tidak perlu bersusah-susah memaksanya
bangun tidur untuk sholat subuh. Aku pikir aku akan bahagia dan bebas, dan aku
berpikir pasti dia juga merasakan hal yang sama. Tidak akan ada lagi yang
cerewet menyuruhnya ini itu, tidak ada lagi yang mengajaknya bertengkar tiap
hari. Aku pikir aku akan menikmati hidupku yang tenang. Tapi nyatanya tidak
seperti itu. Saat bangun tidur, aku ingat harus membangunkannya sholat subuh.
Saat makan bakso, aku ingat dia, karena Panji sangat menyukai bakso. Saat
menonton TV sendirian di kost, tidak ada teman berebut TV seperti dulu. Bahkan
aku ingin bertengkar dengan adikku itu.
Sesekali, Mama menelpon menanyakan
kabarku. Dan kadangkala adikku ikut berbicara padaku. Suaranya tidak berubah.
“Dede lagi sama Poci ka, lagi boboan di kaki Dede. Katanya Poci kangen sama
Kaka.” Diam-diam aku menitikkan air mata. Aku tahu, sebenarnya dia yang kangen
padaku, tapi dia malu untuk mengatakannya.
Aku ingat sekali saat-saat Papa
meninggal hampir setahun yang lalu. Saat aku pulang ke Cilacap dan langsung
pingsan begitu sampai di rumah, aku sama sekali belum betemu dengan adikku.
Katanya, dia di kamar belakang terus. Esoknya ketika aku sudah sadar dan lebih
tenang, aku tidur ditemani Mama. Tiba-tiba adikku masuk ke kamarku. Dia hanya
memandangiku sambil terdiam. Perlahan, air matanya jatuh. Aku langsung menangis
histeris melihatnya. Kami berpelukan, dan menangis bersama. Kami kehilangan
Papa, orang yang sangat kami cintai. Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah
melihat Panji menangis lagi, apalagi di depanku. Tapi tampaknya kini tidak ada
lagi yang menghalanginya untuk menyembunyikan kesedihan itu. Selama beberapa
hari setelah pemakaman Papa, dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Tapi tiap
ada kerabat yang datang, terutama yang dulu dekat dengan Papa dan keluarga,
adikku langsung menangis lagi. Aku berusaha menenangkannya, walaupun aku juga
sangat lemah dan sedih, tapi aku harus selalu terlihat tegar di depan adikku
sendiri. Dia mau makan jika bersama denganku, dan dia menurut jika aku
menyuruhnya mandi atau berganti baju. Tidak ada yang bisa kami andalkan, karena
saat itu pastinya Mama mengalami kesedihan yang lebih dalam daripada kami
berdua.
Tapi lama kelamaan, kami paham bahwa
kami tidak boleh terus menerus bersedih. Dia mulai kembali tersenyum walaupun
matanya masih lekat menyimpan kesedihan. Kami menjadi lebih dekat, seperti dua
bocah kecil yang dulu sering bertengkar tiap hari. Kami sama-sama merasa
senasib saat kehilangan Papa, dan kami belajar untuk hidup lebih kuat dengan
Mama sebagai orangtua tunggal. Aku melihat adikku lebih rajin belajar dan
menurut jika dinasihati oleh Mama.
Seminggu setelah kepergian Papa, Moci
mati. Dulu dia memang dekat sekali dengan Papa. Dia tidur di kaki Papa jika
malam hari, dan selalu menemani Papa minum kopi tiap sore. Karena Papa yang
memberi makan dia, semenjak Papa pergi, dia tidak pernah mau makan, dia menjadi
kurus dan akhirnya sakit-sakitan. Dia juga kehilangan Papa. Saat itu aku sudah
kembali ke Jogja. Dan di pagi yang mendung itu, Mama menelponku. Moci mati
menyusul Papa. Semalam dia tidak mau makan atau minum susu, padahal sudah
dipaksa-paksa oleh Mama. Panji tidak bisa tidur nyenyak. Subuhnya, Moci
ditemukan mati dalam tidurnya. “Ka.. Moci mati... Moci mati..” Aku menangis
mendengar suara adikku yang begitu sedih. Dia juga pasti sangat kehilangan,
padahal belum sembuh juga luka kami karena kehilangan Papa.
Saat aku pulang liburan beberapa waktu
yang lalu, aku melihat kuburan Moci. Adikku menunjukkannya dengan senyum getir.
Kini
adikku Panji sudah tumbuh menjadi seorang lelaki yang gagah. Tingginya sudah
hampir melampaui tinggiku. Kulitnya yang dulu putih, kini sudah lebih coklat
dariku. Suaranya sudah berubah menjadi lebih berat, alisnya menebal.
Prestasinya di sekolah juga bagus. Semester terakhir kemarin dia peringkat 2 di
kelasnya. Sebelumnya, dia peringkat 1, memang agak menurun, tapi tetap hasil
yang bagus buatku. Kini dia sudah kelas 3 SMP, tidak merokok dan selalu
menuruti nasihat Mama. Aku bahagia mempunyai dia. Kadang kami masih suka
bertengkar, tapi kami telah tumbuh menjadi lebih dewasa dan bertekad
membahagiakan Mama. Sebentar lagi dia akan menyusulku untuk melanjutkan SMA di
Jogja. Aku yakin kelak dia akan menjadi kebanggaan aku dan Mama, juga Papa. Dia
akan jadi lelaki hebat, yang kuat, yang bertanggung jawab :’)
Waktu aku SMP
With
love, your fussy sister,
Dedott
:*
Langganan:
Postingan (Atom)