Kamis, 08 November 2012

Pidato Severn Suzuki


Cerita ini berbicara mengenai seorang anak yg bernama Severn Suzuki, seorang anak yang pada usia 9 tahun telah mendirikan Enviromental Children's Organization ( ECO ).

ECO sendiri adalah sebuah kelompok kecil anak yang mendedikasikan diri untuk belajar dan mengajarkan pada anak-anak lain mengenai masalah lingkungan.

Dan mereka pun diundang menghadiri Konfrensi Lingkungan hidup PBB, dimana pada saat itu Severn yang berusia 12 Tahun memberikan sebuah pidato kuat yang memberikan pengaruh besar ( dan membungkam ) beberapa pemimpin dunia terkemuka.

Apa yg disampaikan oleh seorang anak kecil ber-usia 12 tahun hingga bisa membuat RUANG SIDANG PBB hening, lalu saat pidatonya selesai ruang sidang penuh dengan orang terkemuka yg berdiri dan memberikan tepuk tangan yg meriah kepada anak berusia 12 tahun.

Inilah Isi pidato tersebut: (Sumber: The Collage Foundation)




Halo, nama Saya Severn Suzuki, berbicara mewakili E.C.O - Enviromental
Children Organization
Kami adalah kelompok dari Kanada yg terdiri dari anak-anak berusia 12
dan 13 tahun, yang mencoba membuat perbedaan: Vanessa Suttie, Morga,
Geister, Michelle Quiq dan saya sendiri. Kami menggalang dana untuk
bisa datang kesini sejauh 6000 mil untuk memberitahukan pada anda
sekalian orang dewasa bahwa anda harus mengubah cara anda, hari ini di
sini juga. Saya tidak memiliki agenda tersembunyi. Saya menginginkan
masa depan bagi diri saya saja.

Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kalah dalam pemilihan umum
atau rugi dalam pasar saham. Saya berada disini untuk berbicara bagi
semua generasi yg akan datang.

Saya berada disini mewakili anak-anak yg kelaparan di seluruh dunia
yang tangisannya tidak lagi terdengar.

Saya berada disini untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat
yang tidak terhitung jumlahnya diseluruh planet ini karena kehilangan
habitatnya. Kami tidak boleh tidak di dengar.

Saya merasa takut untuk berada dibawah sinar matahari karena
berlubangnya lapisan OZON. Saya merasa takut untuk bernafas karena
saya tidak tahu ada bahan kimia apa yg dibawa oleh udara.

Saya sering memancing di Vancouver bersama ayah saya hingga beberapa
tahun yang lalu kami menemukan bahwa ikan-ikannya penuh dengan kanker.
Dan sekarang kami mendengar bahwa binatang-binatang dan tumbuhan satu
persatu mengalami kepunahan tiap harinya - hilang selamanya.

Dalam hidup saya, saya memiliki mimpi untuk melihat kumpulan besar
binatang-binatang liar, hutan rimba dan hutan tropis yang penuh dengan
burung dan kupu-kupu. Tetapi sekarang saya tidak tahu apakah hal-hal
tersebut bahkan masih ada untuk dilihat oleh anak saya nantinya.

Apakah anda sekalian harus khawatir terhadap masalah-masalah kecil ini
ketika anda sekalian masih berusia sama serperti saya sekarang?

Semua ini terjadi di hadapan kita dan walaupun begitu kita masih tetap
bersikap bagaikan kita masih memiliki banyak waktu dan semua
pemecahannya. Saya hanyalah seorang anak kecil dan saya tidak memiliki
semua pemecahannya. Tetapi saya ingin anda sekalian menyadari bahwa
anda sekalian juga sama seperti saya!

Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita.
Anda tidak tahu bagaiman cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai
asalnya.
Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang yang
telah punah.

Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sediakala di
tempatnya, yang sekarang hanya berupa padang pasir. Jika anda tidak
tahu bagaima cara memperbaikinya. TOLONG BERHENTI MERUSAKNYA!

Disini anda adalah delegasi negara-negara anda. Pengusaha, anggota
perhimpunan, wartawan atau politisi - tetapi sebenarnya anda adalah
ayah dan ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, paman dan bibi
- dan anda semua adalah anak dari seseorang.

Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa kita semua
adalah bagian dari sebuah keluarga besar, yang beranggotakan lebih
dari 5 milyar, terdiri dari 30 juta rumpun dan kita semua berbagi
udara, air dan tanah di planet yang sama - perbatasan dan pemerintahan
tidak akan mengubah hal tersebut.

Saya hanyalah seorang anak kecil namun begitu saya tahu bahwa kita
semua menghadapi permasalahan yang sama dan kita seharusnya bersatu
untuk tujuan yang sama.

Walaupun marah, namun saya tidak buta, dan walaupun takut, saya tidak
ragu untuk memberitahukan dunia apa yang saya rasakan.

Di negara saya, kami sangat banyak melakukan penyia-nyiaan. Kami
membeli sesuatu dan kemudian membuang nya, beli dan kemudian buang.
Walaupun begitu tetap saja negara-negara di Utara tidak akan berbagi
dengan mereka yang memerlukan.
Bahkan ketika kita memiliki lebih dari cukup, kita merasa takut untuk
kehilangan sebagian kekayaan kita, kita takut untuk berbagi.

Di Kanada kami memiliki kehidupan yang nyaman, dengan sandang, pangan
dan papan yang berkecukupan - kami memiliki jam tangan, sepeda,
komputer dan perlengkapan televisi.

Dua hari yang lalu di Brazil sini, kami terkejut ketika kami
menghabiskan waktu dengan anak-anak yang hidup di jalanan. Dan salah
satu anak tersebut memberitahukan kepada kami: " Aku berharap aku
kaya, dan jika aku kaya, aku akan memberikan anak-anak jalanan
makanan, pakaian dan obat-obatan, tempat tinggal, cinta dan kasih
sayang " .

Jika seorang anak yang berada dijalanan dan tidak memiliki apapun,
bersedia untuk berbagi, mengapa kita yang memiliki segalanya masih
begitu serakah?

Saya tidak dapat berhenti memikirkan bahwa anak-anak tersebut berusia
sama dengan saya, bahwa tempat kelahiran anda dapat membuat perbedaan
yang begitu besar, bahwa saya bisa saja menjadi salah satu dari
anak-anak yang hidup di Favellas di Rio; saya bisa saja menjadi anak
yang kelaparan di Somalia ; seorang korban perang timur tengah atau
pengemis di India .

Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa jika semua
uang yang dihabiskan untuk perang dipakai untuk mengurangi tingkat
kemiskinan dan menemukan jawaban terhadap permasalahan alam, betapa
indah jadinya dunia ini.

Di sekolah, bahkan di taman kanak-kanak, anda mengajarkan kami untuk
berbuat baik. Anda mengajarkan pada kami untuk tidak berkelahi dengan
orang lain, untuk mencari jalan keluar, membereskan kekacauan yang
kita timbulkan; untuk tidak menyakiti makhluk hidup lain, untuk
berbagi dan tidak tamak. Lalu mengapa anda kemudian melakukan hal yang
anda ajarkan pada kami supaya tidak boleh dilakukan tersebut?

Jangan lupakan mengapa anda menghadiri konperensi ini, mengapa anda
melakukan hal ini - kami adalah anak-anak anda semua. Anda sekalianlah
yang memutuskan, dunia seperti apa yang akan kami tinggali. Orang tua
seharus nya dapat memberikan kenyamanan pada anak-anak mereka dengan
mengatakan, " Semuanya akan baik-baik saja , 'kami melakukan yang
terbaik yang dapat kami lakukan dan ini bukanlah akhir dari
segalanya.”

Tetapi saya tidak merasa bahwa anda dapat mengatakan hal tersebut
kepada kami lagi. Apakah kami bahkan ada dalam daftar prioritas anda
semua? Ayah saya selalu berkata, “Kamu akan selalu dikenang karena
perbuatanmu, bukan oleh kata-katamu”.

Jadi, apa yang anda lakukan membuat saya menangis pada malam hari.
Kalian orang dewasa berkata bahwa kalian menyayangi kami. Saya
menantang A N D A , cobalah untuk mewujudkan kata-kata tersebut.

Sekian dan terima kasih atas perhatiannya.



With love,
Dedott :)

Minggu, 03 Juni 2012

Satu Cinta Abadi

Cerita ini aku ambil dari salah satu cerpen di novel Chicken Soup for The Soul edisi Happily Ever After :)


Satu Cinta Abadi

Seperti kau lihat,setiap hari aku semakin mencintaimu.
Hari ini lebih besar dai kemarin dan lebih sedikit dari pada hari esok.
-RESAMONDE GERARD

       Salah satu pasien favorit kami telah beberapa kali keluar masuk rumah sakit kecil kami di pinggiran, dan kami semua di bagian operasi-medis sudah menjadi cukup akrab dengannya serta suaminya. Meski mengidap kanker parah serta rasa sakit yang diakibatkannya, dia selalu memberikan senyuman atau pelukan kepada kami. Setiap kali suaminya datang berkunjung, dia berbinar. Sang suami pria yang baik, sangat sopan, serta seramah sang istri. Aku menjadi cukup akrab dengan mereka dan selalu senang merawat perempuan itu.
       Aku mengagumi ekspresi cinta mereka. Setiap hari sang suami membawakan istrinya bunga segar dan senyuman, lalu duduk di sebelah tempat tidurnya saat mereka berpegangan tangan dan berbicara tenang. Ketika rasa sakit menjadi teramat sangat dan sang istri menangis atau menjadi bingung, sang suami dengan lembut memeluknya dan berbisik hingga sang istri bisa beristirahat. Dia menghabiskan setiap waktu yang ada di samping tempat tidur sang istri, membantunya menyeruput sedikit air dan membelai alisnya. Setiap malam, sebelum pulang, sang suami menutup pintu sehingga mereka bisa menghabiskan waktu hanya berdua. Setelah dia pergi, kami akan mendapati sang istri tidur dengan damai dengan senyuman di bibirnya.
       Namun, malam ini segala sesuatunya berbeda. Begitu aku memasukkan laporan, para perawat siang memberitahu kami kondisi perempuan itu terus memburuk dan tak akan bisa melewati malam. Meski sedih, aku tahu inilah yang terbaik. Setidaknya temanku tidak akan lagi merasa sakit.
       Aku meninggalkan laporan dan terlebih dulu memeriksa perempuan itu. Saat aku memasuki ruangan, dia bangun dan tersenyum lemah, namun napasnya berat dan aku bisa melihat itu tidak akan berlangsung lama. Sang suami duduk di sebelahnya, juga tersenyum, dan berkata, "Kekasiku akhirnya akan mendapatkan hadiahnya."
       Mataku berkaca-kaca, jadi aku bertanya apakah mereka membutuhkan sesuatu dan langsung pergi. Sepanjang malam aku menawarkan perawatan dan ketenangan, dan sekitar tengah malam perempuan itu meninggal dengan tangan sang suami masih menggenggeam tangannya. Aku menghibur lelaki itu, dan dengan air mata mengalir di pipi dia berkata, "Bolehkah aku sejenak bersamanya saja?" Aku memeluknya dan menutup pintu di belakangku.
       Aku berdiri di luar ruangan, mengusap air mata dan merindukan temanku serta senyumannya. Dan aku bisa merasakan kepedihan sang suami di hatiku sendiri. Tiba-tiba dari dalam ruangan muncul suara pria paling indah yang pernah kudengar sedang menyanyi. Betapa suara itu mengalun menembus lorong, sungguh nyaris menghantui. Semua perawat lain keluar ke lorong untuk mendengarkan saat pria itu menyanyikan "Beautiful Brown Eyes" dengan suara sangat lantang.
       Ketika nada itu melemah, pintu terbuka dan pria itu memanggilku. Dia menatap mataku dan memelukku sambil berkata, "Aku menyanyikan lagu itu untuknya setiap malam sejak pertama kali kami bertemu. Biasanya aku menutup pintu dan merendahkan suaraku sehingga tidak mengganggu pasien lainnya. Tapi aku harus memastikan malam ini dia mendengarku karena dia sedang dalam perjalanan ke surga. Dia harus tahu dia akan selalu menjadi cinta abadiku. Tolong sampaikan permintaan maafku kepada siapa saja yang sudah terganggu. Aku hanya tidak tahu bagaimana akan menghadapi hidup tanpa dirinya, tapi aku akan terus menyanyi setiap malam untuknya. Apakah menurutmu dia akan mendengarku?"
       Aku menganggukkan kepala "ya", tak mampu menghentikan air mataku. Dia kembali memelukku, mencium pipiku dan berterimakasih kepadaku karena sudah menjadi perawat serta teman mereka. Dia juga berterimakasih kepada para perawat lain, lalu berbalik dan menyusuri lorong, punggungnya terkulai, bersiul menyanyikan lagu itu.
       Ketika melihatnya pergi, aku berdoa akupun suatu hari nanti akan mengenal cinta semacam itu.

oleh Christy M. Martin


With love, 
Dedott :)

Kamis, 26 April 2012

Dari Mama

       Seperti yang sudah pernah aku sebutkan dalam beberapa postingku yag sebelumnya, Mamaku adalah seorang guru Bahasa Indonesia di SMP-ku dulu di Cilacap. Dari beliau lah aku jadi gemar sekali membaca, dan paling tidak memiliki sedikit kemampuan dalam bidang sastra -aku ulang, 'sedikit' ya- 
       Dulu sewaktu aku SD dan SMP, tiap aku mewakili sekolah untuk lomba baca puisi atau menulis cerpen atau sebagainya, Mamaku lah guru pembimbing utamaku. Aku memang suka sekali menulis puisi atau cerpen. Dan, well, sebenarnya yang mau aku posting disini adalah sebuah puisi. Bukan puisi buatanku, tapi justru buatan Mamaku.   Ceritanya begini. Aku tinggal di Jogja sendiri, tentu saja, dan Mama tidak setiap hari menghubungiku lewat telepon, tapi paling tidak kami tetap saling memberi kabar lewat pesan singkat. Aku punya beberapa akun facebook, dan ada salah satunya yang biasa aku gunakan khusus untuk berinteraksi dengan keluarga da teman-temanku di Cilacap. Hampir sebulan lebih aku tidak lagi membuka akun itu. Beberapa waktu lalu aku memang sibuk mempersiapkan ujian akhirku. 
       Setelah ujianku sekarang selesai dan kegiatanku tidak terlalu padat, beberapa hari lalu aku kembali membuka akun facebook itu. Mama memang bisa dibilang aktif di facebook, terutama setelah modemnya baru (gila emak gua gahoeel -_- ) . Nah, pas aku cek timeline profilku.. ada beberapa wall dari teman dan saudaraku, tentu saja ada beberapa dari Mama. Tapi ada satu yang benar-benar lain. Mama menulis puisi. Aku menangis seketika. Belum pernah Mama membuatkan aku puisi. Wall itu tertanggal 13 April 2012, beberapa hari sebelum aku ujian.
 ini puisinya, aku kopas langsung dari facebook-ku:

Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas
selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinari daun-daun
dalam rimba dan padang hijau
.........

Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nahkoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku...

.........

       Dan pembaca, sewaktu menulis postingan inipun aku menangis :') Mungkin puisi itu hanya terdiri dari dua bait dan kata-katanya sederhana, tapi bagiku, maknanya dalam sekali. Yang aku rasa, Mama berkata padaku, 'Kejarlah cita-citamu setinggi-tingginya, sejauh-jauhnya. Jangan pernah menyerah nak, gapai semua yang ingin kamu gapai dalam hidupmu. Mama selelu mendukung dan mendo'akanmu. Jika kau lelah dan perlu kembali, kembalilah, Mama disini menunggumu..'
       Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku saat pertama kali aku membaca puisi itu, aku hanya ingin pulang ke rumahku yang jauh di sana, dan memeluk Mama. Aku rindu Mama ! :')
Kadang aku iri dengan kalian yang tinggal bersama keluarga, bisa tiap hari bercanda dan berbagi kasih sayang dengan saudara. Tapi aku ingat tujuanku disini, aku ada disini untuk meraih semua cita-citaku. Dan walaupun aku disini sendiri tanpa keluargaku, aku tahu mereka selalu mendukung dan mendoa'akanku dari sana, terutama Mamaku tercinta :') :*



With love,Dedott :)

Jumat, 17 Februari 2012

Life is Beautiful

Bukan karena hari ini indah, kita menjadi bahagia.
Tapi karena kita bahagia, maka hari ini jadi indah.

Bukan karena rintangan, kita jadi optimis. 
 Tapi karena kita optimis, rintangan jadi tak terasa.


Bukan karena mudah, kita yakin jadi bisa.
Tapi karena kita yakin bisa, maka semua menjadi mudah.


Bukan karena semuanya baik, kita jadi tersenyum.
Tapi karena kita tersenyum, maka semuanya jadi baik :) 




Life is beautifull :)


With love ,
Dedott :*

Kamis, 02 Februari 2012

Panji Iswani :*


       Aku merebut remote televisi yang bocah lelaki itu pegang. Lalu kuganti channel TV ke nomor 1, RCTI.
       Bocah itu balik merebut remote dan mengembalikan ke channel sebelumnya.
       “Ih apaan sih, gantian tau liatnya! Lagi iklan juga, mau liat Doraemon!” Bentakku sambil kembali merebut remote yang masih berada di tangannya.
       Dia menjauh, dan melempar bantal kursi padaku. “Yee, ini juga baru sebentar! Diganti-ganti terus, ini juga Power Rangernya udah mau mulai!” Katanya memeletkan lidah.
       Aku membuang bantal kursi yang tadi mengenai wajahku. Lalu ku pukul lengannya seraya mengambil kembali remote TV.
       “Mamaaaaa, kaka nakal!” Serunya keras sambil gantian memukulku.
       “Ih wadul!” Kami akhirnya saling pukul, tidak memperdulikan lagi remote TV.

 
            
Aku rindu saat-saat seperti itu, Minggu pagi yang ramai karena perebutan remote TV. Dia bernama Panji Iswani, adik lelakiku satu-satunya. Usia kami hanya terpaut satu tahun. Aku lahir pertengahan tahun 1995, dan dia menyusul pada Desember 1996, 2 hari sebelum tahun baru 1997. Tubuhnya lumayan gemuk dan besar. Jika aku mewarisi tinggi badanku dari Papa, maka dia mendapatkan kulitnya yang putih turunan dari Mama.
       Dulu sewaktu aku TK, dia tidak mau kalah denganku. Dia ikut-ikutan belajar di TK yang sama denganku. Kadang dia suka ikut ke sekolahku, walaupun tidak memakai seragam TK, tapi dia ikut bermain dan belajar di kelas bersamaku. Teman-temanku, berarti temannya juga. Setelah aku lulus dari TK dan mulai memasuki bangku SD, dia kembali bersekolah TK, tapi di tempat yang berbeda dari TK-ku dulu.
       Saat akhirnya dia menjadi adik kelasku di SD, bagiku dia sangat  menyulitkan. Dia senang sekali jajan. Jika uang jajannya habis, maka saat jam istirahat dia akan menunggu di depan kelasku, dan meminta uang kepadaku. Meskipun kesal karena setiap hari seperti itu, toh aku selalu memberikan sebagian uangku kepadanya. Sewaktu kecil, rasa-rasanya kami jarang sekali bertengkar. Setiap sore, kami berdua dan anak-anak lain di sekitar rumahku selalu mengaji di masjid desa kami. Kadang aku yang mengajarinya membaca Iqro’. Sudah berulang kali kuajarkan tapi dia tidak juga bisa. Aku marah dan mengajarinya dengan membentak-bentak supaya dia paham. Akhirnya dia hanya menunduk diam. Aku jadi tidak tega :p
       Lama-kelamaan, anak-anak di desaku jarang pergi ke masjid untuk mengaji, mereka mengaji di rumahnya masing-masing. Aku dan adikku akhirnya mengaji di masjid yang agak jauh dari rumahku. Guru mengaji kami adalah seorang guru agama di sebuah SD. Tiap sore sekitar jam setengah 3 sampai jam 4 lewat, kami mengaji sekaligus mempelajari ilmu agama seperti yang diajarkan di sekolah. Pulang mengaji, kami selalu ke tempat Budhe yang jaraknya dekat dengan masjid itu, menunggu Papa menjemput.
       Di rumah, aku dan Panji sering bermain berdua. Kami bermain petak umpet. Dia lebih sering kalah dibandingkan denganku. Kami juga pernah sangat tergila-gila dengan bulu tangkis. Kami merengek-rengek pada Mama agar dibelikan sepasang raket dan kok. Saat akhirnya benda itu kami dapatkan, tiap sore kami bermain bulutangkis di halaman depan rumahku yang lumayan luas. Mama dan Papa duduk di beranda sambil melihat kami berdua bermain. Sekali-sekali mereka ikut bermain bergantian dengan kami.
       Dulu sewaktu SD, kami tidur bersama dalam satu kamar yang berisi dua kasur. Kami masih suka tidur ditemani Mama. Kalau Mama menemani kami tidur, kami akan banyak bertanya tentang berbagai macam hal. Seperti, ada apa di balik awan, atau mengapa kita tidak bisa melihat Tuhan. Mama akan menjawab semua keingintahuan kami, dan menyanyikan lagu-lagu daerah sampai kami berdua tertidur. Baru kemudian beliau menyelimuti kami berdua dan pergi ke kamarnya sendiri. Kadang, kami sekeluarga, Papa, Mama, aku, dan adikku tidur bersama di kamar kami. Kasur dijadikan satu, aku dan adikku tidur diantara Mama dan Papa. Kami tertawa dan mengobrol sampai terlelap dalam mimpi. Aku sangat merindukan saat-saat seperti itu :’)
       Malam hari di rumah adalah waktu yang menyenangkan karena kami sekeluarga berkumpul. Papa minum kopi di ruang tamu sambil memandangi ikan-ikan mas koki di aquarium. Mama menyetrika baju, Nenek menonton TV, aku dan Panji mengerjakan PR. Kalau ada soal yang sulit, adikku akan bertanya pada Mama, tapi karena Mama sibuk menyetrika, lebih sering Mama menyuruh adikku untuk bertanya padaku. Aku sering kesal jika adikku bertanya sementara aku sedang konsentrasi mengerjakan soal-soal hitunganku. Padahal di buku materinya kan ada, tapi karena malas membaca, dia seenaknya saja bertanya. Jika masalah matematika, kami berdua tahu harus minta ajari pada siapa. Ya, tentu saja pada Papa. Papaku jago dalam pelajaran Matematika. Beliau akan dengan sabar mengajari kami, dan mengingatkan jika kami salah dalam menghitung.
       Saat Papa dan Mama pergi menginap ke rumah Nenek yang di Pangandaran, aku dan adikku harus bergotong royong membersihkan rumah. Aku mengerjakan pekerjaan dapur dan mencuci, dia yang menyapu dan mengepel. Walaupun masih kecil dan seorang laki-laki, tapi dia mengerti tugasnya. Kadang dia juga akan memasak makanannya sendiri jika tidak suka dengan menu yang aku buat. Jika aku memasak sayur, dia tidak akan mau memakannya. Entah kenapa dia anti sekali dengan sayur, padahal waktu balita, makanan kesukaannya adalah sop. Dia lebih sering membuat telur atau mie goreng sendiri.
       Aku sering sekali menjahili adikku yang satu ini. Misalnya saja, pada hari Minggu, Mama sedang memasak. Aku sehabis mandi dan melewati Mama di dapur. “Ka, Mama beliin kecap sama Masako ya. Uangnya ambil di kamar.” Perintah Mama padaku. Aku mengangguk dan segera mengambil uang di kamar Mama. “De, kata Mama suruh beliin kecap sama Masako di warung. Cepet ya.” Ujarku pada Panji yang sedang asyik melihat kartun di depan TV. Dia sedikit mengeluh, tapi kemudian beranjak ke warung. Aku tertawa puas, padahal aku yang diperintah, tapi aku bilang padanya bahwa adikku itu yang dimintai tolong. Jika sudah kembali dari warung, aku yang menyerahkan belanjaannya ke Mama, sehingga Mama taunya ya aku yang tadi ke warung. Hhahaha :D Berkali-kali aku melakukan hal ini, bahkan juga hal lain seperti menyiram bunga, atau menyapu halaman. Tapi kemudian adikku tahu dengan sendirinya, dan dia bisa menolak dengan berkata, “Ih, Dede denger yang disuruh Kaka. Kalo Kaka ga mau ya udah, nanti Dede bilangin ke Papa, weekk.” Jika sudah seperti itu, akulah yang akhirnya mengerjakan tugasku sendiri.
       Menurutku, Panji adalah seorang anak lelaki yang manja. Walaupun dia punya banyak teman bermain, tapi kalau di rumah, dia tidak mau apa-apa kalau tidak dengan Mama. Kalau aku nakal padanya, dia sering mengadukanku pada Papa sehingga aku sering dimarahi. Bahkan kadang jika dia yang nakal padaku, aku yang diadukan, dan dia pura-pura menangis. Aku ingin marah, tapi toh yang dipercaya adalah adikku. Beranjak besar, kami jadi sering sekali bertengkar, kadang hanya bercanda, kadang sampai dia benar-benar marah. Kami sampai saling memukul dengan sapu, berkejaran sampai halaman, membuat Mama berteriak jika kami bermain kejar-kejaran dan heboh mengelilingi Mama yang sedang memasak di dapur. Tapi bila sudah marah, adikku akan langsung masuk ke kamar, membanting pintu, dan menguncinya dari dalam. Aku sering mengejek kebiasaannya marah ini. “Ih laki-laki kok kalo ngambek ngunci kamar, malu woy malu, entar bilangin ke pacarnya! hahaha.” Ujarku keras-keras dari depan pintu kamarnya. Dia hanya menendang pintu untuk menjauhkanku.
       Ngomong-ngomong, Panji adalah adik yang asyik untuk diajak curhat. Jika meminjam hapeku untuk ngegame dan melihat wallpaper hapeku seorang lelaki, dia akan bertanya, “Ini siapa ka?” dan aku menceritakan padanya bahwa lelaki itu adalah pacarku. Sambil bermain game, dia mengangguk-angguk mendengarkan ceritaku. Jika pacarku main ke rumah, sepulangnya, adikku kembali bertanya, “Itu yang tadi main pacar kaka ya? Yang waktu itu kaka ceritain?”
Kadang, jika aku sedang galau sendiri, aku bercerita padanya. Walaupun ia tidak paham, toh dia akan tetap mendengarkan. Dan jika ada lelaki lain yang main ke rumah, adikku akan bertanya-tanya, kemudian membandingkan dengan pacarku yang sebelumnya. Kalau aku baru putus dengan pacarku, dengan setengah emosi aku menceramahinya, “Kalo jadi laki-laki harus setia loooh, jangan kaya si *sensor* itu, mainin cewek aja bisanya. De, kalo punya pacar besok jangan disakitin, entar kena karma!” Ujarku berapi-api. Panji hanya mengangguk-angguk. “Iya iya, Dede juga kalo punya pacar ga mau yang kaya Kaka ah.” Katanya sombong. “Loh ko gituuu?” Aku melotot marah. “Iya lah, kan Kaka mah ganti terus, playgirl cap kabel pedot.” Adikku lari sambil menjulurkan lidahnya. Aku mengejarnya sambil mengomel-ngomel :D
       Aku dan adikku sama-sama menyukai kucing. Kami memelihara banyak sekali kucing di rumah. Pertamanya dari kucing betina milik tetangga yang diberi nama Porong (nama yang aneh). Saat Porong beranak, aku memintanya satu. Adikku memberinya nama Mengki. Saudara Mengki yang tinggal di rumah tetangga ada yang dinamai Mingka, Mangki, dan sebagainya seperti nama kembar. Keturunan berikutnya juga diberi nama yang mirip-mirip seperti Pingka, Pingki, Moci, Poci, Eki, Uci. Sekarang sudah sampai keturunan ke-4. Setiap hari kami bermain dengan kucing, bergantian memberi makannya, dan tiap Minggu kami memandikannya. Kucing-kucing kami tidur di sofa di ruang TV. Panji sangat menyayangi kucing-kucing kami. Dia akan marah padaku bila aku menjahati mereka. Dia juga akan merasa iri jika aku bermain dengan Poci atau Moci, sehingga dia akan langsung merebutnya dan mengajak mereka untuk bermain bersamanya.
 bersama meong :*

                                                                      
       Disamping kelakuannya yang lebih sering menyebalkan, yang kubangga dari adikku adalah prestasinya di sekolah. Sejak SD, dia tidak mau kalah denganku. Dia sering menduduki peringkat 1 atau 2 di kelasnya. Jika aku mendapat ranking 1 dan kebetulan dia ranking 2, aku dengan puas menindasnya, haha :D Saat SMP prestasinya agak menurun. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin karena sering bermain. Dia memang sangat suka bermain PS. Jika sudah PS-an, dia sering lupa waktu dan akan menjadi sasaran kemarahan Mama. Aku sih ikut-ikut nimbrung memarahinya saja :p
       Sejak aku duduk di bangku SMP, hubungan kami menjadi agak renggang. Aku paham, sebagai seorang anak lelaki yang sedang tumbuh, pasti dia akan malu jika masih bermain dengan kakak perempuannya. Dia lebih sering bergaul dengan anak laki-laki teman sebayanya. Mungkin di matanya, aku adalah seorang kakak yang cerewet dan suka marah-marah, tapi sebenarnya aku selalu mengkhawatirkan dia. Jika dia pulang sekolah sendiri, aku takut terjadi apa-apa padanya. Saat study tour SD, aku takut dia mabuk di perjalanan, dan tidak bisa apa-apa disana. Saat dia mengikuti perlombaan mewakili sekolah, aku khawatir dia kalah lalu kecewa pada dirinya sendiri. Padahal seharusnya aku tahu, adikku lelaki yang kuat. Dia bisa sendiri tanpa aku atau Mama, dia juga bisa mengatasi masalahnya sendiri.
       Saat aku tinggal di Jogja untuk sekolah, aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku senang karena tidak tinggal seatap lagi dengan adikku yang menyebalkan itu. Aku tidak perlu berebut remote TV lagi, tidak perlu setengah hati saat berbagi eskrim atau semangkuk bakso. Tidak perlu berebut kamar mandi lagi tiap pagi, tidak perlu bersusah-susah memaksanya bangun tidur untuk sholat subuh. Aku pikir aku akan bahagia dan bebas, dan aku berpikir pasti dia juga merasakan hal yang sama. Tidak akan ada lagi yang cerewet menyuruhnya ini itu, tidak ada lagi yang mengajaknya bertengkar tiap hari. Aku pikir aku akan menikmati hidupku yang tenang. Tapi nyatanya tidak seperti itu. Saat bangun tidur, aku ingat harus membangunkannya sholat subuh. Saat makan bakso, aku ingat dia, karena Panji sangat menyukai bakso. Saat menonton TV sendirian di kost, tidak ada teman berebut TV seperti dulu. Bahkan aku ingin bertengkar dengan adikku itu.
       Sesekali, Mama menelpon menanyakan kabarku. Dan kadangkala adikku ikut berbicara padaku. Suaranya tidak berubah. “Dede lagi sama Poci ka, lagi boboan di kaki Dede. Katanya Poci kangen sama Kaka.” Diam-diam aku menitikkan air mata. Aku tahu, sebenarnya dia yang kangen padaku, tapi dia malu untuk mengatakannya.
       Aku ingat sekali saat-saat Papa meninggal hampir setahun yang lalu. Saat aku pulang ke Cilacap dan langsung pingsan begitu sampai di rumah, aku sama sekali belum betemu dengan adikku. Katanya, dia di kamar belakang terus. Esoknya ketika aku sudah sadar dan lebih tenang, aku tidur ditemani Mama. Tiba-tiba adikku masuk ke kamarku. Dia hanya memandangiku sambil terdiam. Perlahan, air matanya jatuh. Aku langsung menangis histeris melihatnya. Kami berpelukan, dan menangis bersama. Kami kehilangan Papa, orang yang sangat kami cintai. Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah melihat Panji menangis lagi, apalagi di depanku. Tapi tampaknya kini tidak ada lagi yang menghalanginya untuk menyembunyikan kesedihan itu. Selama beberapa hari setelah pemakaman Papa, dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Tapi tiap ada kerabat yang datang, terutama yang dulu dekat dengan Papa dan keluarga, adikku langsung menangis lagi. Aku berusaha menenangkannya, walaupun aku juga sangat lemah dan sedih, tapi aku harus selalu terlihat tegar di depan adikku sendiri. Dia mau makan jika bersama denganku, dan dia menurut jika aku menyuruhnya mandi atau berganti baju. Tidak ada yang bisa kami andalkan, karena saat itu pastinya Mama mengalami kesedihan yang lebih dalam daripada kami berdua.
       Tapi lama kelamaan, kami paham bahwa kami tidak boleh terus menerus bersedih. Dia mulai kembali tersenyum walaupun matanya masih lekat menyimpan kesedihan. Kami menjadi lebih dekat, seperti dua bocah kecil yang dulu sering bertengkar tiap hari. Kami sama-sama merasa senasib saat kehilangan Papa, dan kami belajar untuk hidup lebih kuat dengan Mama sebagai orangtua tunggal. Aku melihat adikku lebih rajin belajar dan menurut jika dinasihati oleh Mama.
       Seminggu setelah kepergian Papa, Moci mati. Dulu dia memang dekat sekali dengan Papa. Dia tidur di kaki Papa jika malam hari, dan selalu menemani Papa minum kopi tiap sore. Karena Papa yang memberi makan dia, semenjak Papa pergi, dia tidak pernah mau makan, dia menjadi kurus dan akhirnya sakit-sakitan. Dia juga kehilangan Papa. Saat itu aku sudah kembali ke Jogja. Dan di pagi yang mendung itu, Mama menelponku. Moci mati menyusul Papa. Semalam dia tidak mau makan atau minum susu, padahal sudah dipaksa-paksa oleh Mama. Panji tidak bisa tidur nyenyak. Subuhnya, Moci ditemukan mati dalam tidurnya. “Ka.. Moci mati... Moci mati..” Aku menangis mendengar suara adikku yang begitu sedih. Dia juga pasti sangat kehilangan, padahal belum sembuh juga luka kami karena kehilangan Papa.
       Saat aku pulang liburan beberapa waktu yang lalu, aku melihat kuburan Moci. Adikku menunjukkannya dengan senyum getir.
Kini adikku Panji sudah tumbuh menjadi seorang lelaki yang gagah. Tingginya sudah hampir melampaui tinggiku. Kulitnya yang dulu putih, kini sudah lebih coklat dariku. Suaranya sudah berubah menjadi lebih berat, alisnya menebal. Prestasinya di sekolah juga bagus. Semester terakhir kemarin dia peringkat 2 di kelasnya. Sebelumnya, dia peringkat 1, memang agak menurun, tapi tetap hasil yang bagus buatku. Kini dia sudah kelas 3 SMP, tidak merokok dan selalu menuruti nasihat Mama. Aku bahagia mempunyai dia. Kadang kami masih suka bertengkar, tapi kami telah tumbuh menjadi lebih dewasa dan bertekad membahagiakan Mama. Sebentar lagi dia akan menyusulku untuk melanjutkan SMA di Jogja. Aku yakin kelak dia akan menjadi kebanggaan aku dan Mama, juga Papa. Dia akan jadi lelaki hebat, yang kuat, yang bertanggung jawab :’)

                           
                                    Masa-masa SD :D

              
Waktu aku SMP 

   Akhir tahun 2010
     2011

With love, your fussy sister,
Dedott :*


Kamis, 19 Januari 2012

Asal-Usulnya :D

Bagaimana? Bagaimana aku bisa sampai di Jogja ini? Bagaimana ceritanya kok sampai sekarang aku bisa tinggal disini? Ada seorang teman yang bertanya seperti itu padaku, dan memintaku menceritakannya. Oke lah, sekalian aja aku ceritakan, mumpung banyak ilham yang menari-nari di otakku, haha :D
       Well, sejak aku kecil, sejak SD tepatnya, aku sudah bertekad kalau sudah besar nanti, SMA atau kuliah, aku ingin melanjutkan di Jogja. Kenapa yaa? Kenapa kenapa kenapa? Kenapa hey sodara-sodaraaaa? *alay mode on* hahaha mungkin alasan pertama, waktu kecil aku sering berlibur ke Jogja. Mamaku adalah seorang guru di SMP-ku, SMP 1 Patimuan. Nah, tiap tahun SMP itu mengadakan study tour kan. Dan bagi staf guru, boleh membawa anggota keluarganya untuk ikut liburan. Mama sering mengajak aku dan adikku saat SMP mengadakan study tour, pernah ke Jakarta atau Bandung, tapi lebih sering ke Jokja. Terhitung sejak TK sampai SD aku empat atau lima kali ke Jogja. 
       Dari pengalaman inilah, sedikit sedikit aku mengenal kota ini. Aku kagum pada budaya jawanya yang kental, keramahan warganya, makanan khasnya, dan terutama keindahan Jogja itu sendiri. Maka sejak saat itu aku mulai merangkai mimpiku untuk melanjutkan masa depanku di Kota Pelajar ini. Sampai suatu saat, tepatnya saat aku kelas 3 SMP, saat itu aku baru saja menyelesaikan ujian nasional. Seorang kakak kelasku (Mbak Ira) merekomendasikan sekolahnya. Ya, dia bersekolah di SMA 1 Sedayu, Bantul. Waktu itu, SMA itu sedang mengadakan seleksi untuk kelas akselerasi. Sekolah lain memang belum membuka pendaftaran, tapi kelas aksel ini sudah membuka penerimaan siswa baru untuk program akselerasinya.
       Pertamanya, aku tidak terlalu berminat. Saat itu aku masih ingin santai-santai menikmati kebebasan setelah selesai mengikuti UN. Rencananya, aku ingin melanjutkan di salah satu SMA favorit di Cilacap, karena banyak juga temanku yang berniat mendaftar di sana. Lagipula, sekolah aksel? Aku merasa tidak cukup pintar untuk masuk ke sana. Tapi orangtuaku mendorongku untuk sekadar mencoba, "Cuma coba aja, nanti kalo nggak ke terima, ya di Cilacap aja." Begitu kata Mama. 
       Oke, waktu itu aku mau untuk sekedar mencoba. Untuk pendaftaran, syaratnya nilai rata-rata raport untuk pelajaran Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris paling sedikit 7. Dan karena nem (nilai UN) tidak diperlukan untuk mendaftar, syarat satu itu sudah terpenuhi. Yang ke dua adalah mengikuti ujian tertulis. Maka, saat anak-anak lain sedang bersantai di rumah menunggu hasil UN keluar, aku dan Mamaku pergi ke Jogja untuk mengikuti tes ini. 
        Pada saat itu, baru ada 5 orang termasuk aku yang mendaftar dan mengikuti ujian tertulis. Masih kuingat nomor pendaftaranku waktu itu, nomor 2, haha :D Waktu itu aku mengerjakan soal-soal itu sebisanya saja. Ternyata, aku diterima. Pemberitahuan disampaikan melalui sms, orangtuaku senang dan mengucapkan syukur, sedangkan aku kaget. Iya kaget, AKU DITERIMA? JOGJA? SMA 2 TAHUN? Ini mimpi, pikirku. Tapi ternyata bukan. Ini kenyataan, dan akhirnya aku juga mengucap syukur. 4 orang lain yang mengikuti test bersamaku juga lolos tes tertulis. Dan dengan 2 gelombang pendaftaran berikutnya, terkumpullah 19 orang lain yang kelak akan menjadi teman sekelasku.
       Mulai saat itulah, aku dan Mama bolak-balik Cilacap-Jogja. Mengurusi ini-itu. Mengikuti tes psikologi di UGM, administrasi, surat-surat. Karena aku tidak mempunyai kerabat di kota ini, maka aku menyewa kos yang jaraknya tidak begitu jauh dari sekolah. Di kos ini aku tinggal bersama Mba Ira, yang dulu merekomendasikan aku untuk masuk aksel. Kamar kami bersebelahan :D
       Sebenarnya, ini masalah baru bagiku. Aku memang ingat impian masa kecilku untuk bersekolah di Jogja, dan hal itu sekarang sudah terwujud. Tapi....berjauhan dengan keluarga? Aku belum memikirkan hal ini sebelumnya. Pada dasarnya, aku anak yang cukup manja (terutama pada Mama). Dulu di rumah, tugasku sehari-hari adalah menyapu, mengepel, dan mencuci piring setiap pagi dan sore. Papa yang mencuci dengan mesin cuci, Mama di dapur, dan adikku yang kadang membantuku menjemur baju. Sekarang, aku harus melakukan semuanya sendiri???? Aku syok.
       Awal-awal masa kosku, semuanya terasa berat dan aku belum terbiasa. Saat MOS, Mama masih menemaniku, membantu melewati MOS yang melelahkan. Begitu MOS selesai, Mama kembali ke Cilacap. Aku sendirian. Rasanya kamar kosku terasa sepi, dingin, kosong dan menyeramkan. Malam-malam pertama tidurku tidak nyenyak. Semuanya aku lakukan sendiri tanpa keluarga. Tapi lama kelamaan aku mulai membiasakan diri. Aku mempunyai keluarga baru di sekolah, juga di kos. Aku tidak begitu merasa kesepian lagi. Aku mulai menikmati hidup baruku.
       Dan di sinilah aku sekarang. Aku banyak mendapatkan pengalaman di kota ini, bagaimana menjadi mandiri, berteman dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan merasakan hal-hal menyenangkan yang sebelumnya tak pernah aku rasakan. Hampir dua tahun aku menjalani masa SMA-ku disini, yang sebentar lagi akan berakhir. Tinggal menunggu hitungan bulan aku harus menghadapi UN. Rasanya baru kemarin aku jadi anak SMP, eh sekarang masa SMA-pun sudah hampir habis. Waktu begitu cepat berlalu. 
       Bagaimana masa depanku? Sepertinya, aku akan tetap berada disini, di Jogjakarta. Bagiku, Jogja sudah seperti rumah keduaku. Aku mencintainya seperti aku mencintai tanah kelahiranku sendiri. Jadi, sudah kuputuskan akan melanjutkan kuliah di sini. Yang penting sekarang, aku harus berusaha mewujudkannya. Terus berusaha, belajar yang rajin, dan dengan dukungan serta doa dari orang-orang terdekatku, aku yakin aku bisa mencapainya. Semoga :D


With love, 
Dedott :*

Kesetiaan Hujan

       
       Hujan selalu setia padaku. Lihat saja, saat aku senang, hujan datang. Begitu pula saat aku sedih, hujan akan ada menemaniku. Kadang, ketika hatiku sedang benar-benar tak tentu, ia turun begitu deras. Rasanya, dia mengerti apa yang aku rasakan, maka ia ikut menangis. 
       Berlama-lama memandangi hujan dari jendela kelas, waktu seakan berhenti. Seolah hanya ada saat itu. Saat-saat tetes demi tetes air jatuh dari langit yang muram, turun lewat atap, dan akhirnya jatuh mengalir mengikuti aliran selokan di depan kelasku. Seandainya saat ini waktu menjadi abadi, aku tidak akan menolak. Bahkan aku tidak keberatan menghabiskan sisa hidupku hanya untuk sekedar memandangi hujan.
       Jika waktu abadi di saat seperti ini, tentu saja aku usah memikirkan tugas-tugas yang menumpuk, nilai-nilai ujianku, atau mendengarkan ceramah guruku di depan kelas, yang nyatanya kalah oleh alunan musik dari headset yang sejak awal pelajaran sudah terpasang di telingaku.
       Aku juga tidak perlu repot mengurusi masalah-masalah hidup yang tiap saat mengganggu pikiranku. Saat waktu berhenti dan menjadi abadi, masalah serumit apapun toh tidak perlu menemukan penyelesaian. Semua menjadi tidak penting lagi.
       Dan semua akan menjadi sederhana. Hanya aku dan hujan dalam keabadian. Bukankah itu sangat sederhana? Kata orang, bahagia itu sederhana. Dan dengan mencintai kesederhanaan itu sendiri, aku merasa bahagia. Jadi sekarang, melalui jendela kelasku, aku kembali memandangi hujan. Hatiku menjadi lebih damai. Sejenak melupakan masalah-masalahku. Aku menikmati waktu abadiku ini, dan aku tau, hujan akan tetap setia.

With love, 
Dedott :*

Jumat, 13 Januari 2012

Untuk 'Segalaku'

       Kita bertemu dalam dunia yang absurd, yang awalnya tak kumengerti. Tak mengerti kenapa harus di saat seperti ini kita dipertemukan. Tak mengerti mengapa harus dengan cara seperti ini. Tak mengerti kenapa juga harus dengan kamu aku bertemu, yang pada akhirnya kusebut 'segalaku'.

       Dan kita disini, terjebak dalam ke-absurd-an itu sendiri. Kita seperti terjebak dalam dunia yang tidak nyata. Imajiner, layaknya dunia mimpi atau fantasi. Abstrak, tidak bisa kita definisikan dan kita pahami. Tapi aku bahagia. Kita melewati masa yang singkat hingga tidak aku sadari kita saling memiliki. Rasanya, kemarin kamu hidup dalam dunia yang berbeda denganku. Aku tak mengenal sosokmu, tapi tiba-tiba kamu telah berada di dunia yang absurd ini, bersamaku, menjadi milikku!
       Aku pernah mengatakannya padamu --baru saja-- bahwa kamu tak ubahnya seperti lelaki lain yang sebelumnya datang dalam dunia absurdku, menyakitkan dan pada akhirnya akan meninggalkan aku sendiri disini. Tapi dalam hatiku, aku tahu kamu berbeda. Aku tahu kamu akan meninggalkan bekas yang indah. Bukan, aku bukan seorang indigo yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi. Itu hanya keyakinanku saja, dan keyakinanku itu akan kupelihara. Hanya untuk sekedar mengingatkan diriku sendiri, bahwa kamu memang berbeda.
       Seperti pasangan lain yang dimabuk asmara, kita mengisi hari-hari awal kita dengan kebahagiaan. Kita melakukan banyak hal bersama, membicarakan banyak hal berdua. Sama-sama mengagumi hujan yang pesonanya bisa membius kita berdua untuk berlama-lama menatapnya, sambil tangan kita saling bertautan dan merasakannya dalam hati. Kau tahu, semuanya menyenangkan bagiku. Terutama saat kamu berada di sampingku, rasanya duniaku tidak se-absurd sebelumnya.
       Tiap hari saat sinar matahari menerobos lewat celah-celah jendela kamarku, aku tahu hariku akan baik. Tentu saja alasan senyum pertamaku tiap pagi adalah kamu :) Bahkan kamu yang membuatku percaya bahwa hariku tetap akan baik sekalipun langit mendung dan matahari tidak terlihat. 
       Di tengah kejenuhan menjalani kegiatan monoton di dunia absurdku, dengan mengingat senyummu dan mengucapkan namamu pelan-pelan dalam hati, sudah membuatku merasa lebih baik. Tahu kan, kamu selalu menjadi penyemangatku :)
       Kadang, aku merasa begitu lelah, begitu sakit dengan keadaanku. Lalu ada begitu banyak kalimat keluhan yang keluar dari mulutku. Aku akan mengatakan semuanya sia-sia, tidak ada gunanya aku bertahan di sini, aku terlalu lelah, dan segala macam yang memuakkan. Aku lupa caranya bersyukur dan bagaimana berfikir positif. Aku tidak ingat dengan semua yang masih kumiliki, yang mencintaiku, yang menyayangiku. Tapi kamu tidak bosan mengingatkanku. Dan walaupun aku menganggap kata-katamu angin lalu, diam-diam aku bahagia. Kamu mengembalikanku ke jalanku semula :)
       Pasti kamu berusaha mati-matian menghadapi egoku. Tidak banyak memang yang bisa memahami kepribadianku yang labil ini. Emosiku gampang sekali tersulut karena suatu hal, dan aku tidak mudah mengendalikannya. Kamu tidak akan tahu rasanya seperti apa, berusaha menahan semuanya di tengah-tengah kekacauan hatiku. Tapi lagi-lagi kamu bisa membuatku bertahan. Mungkin kamu tidak menyadarinya, tapi percayalah, setiap nasihat yang kamu beri selalu mampu membuatku bangkit.
       Saat mataku tidak bisa terpejam di tengah malam, aku sering berdialog dengan Tuhan. Bertanya siapa sebenarnya kamu ini? Mengapa kamu bisa mengubah tangis menjadi tawa? Mengubah yang hitam menjadi putih, Menjadikan yang mustahil menjadi mungkin. Aku rasa, kamu malaikatku. Tuhan selalu punya cara untuk menyelamatkanmu, kata seseorang padaku. Dan aku tahu kini, Tuhan menyelamatkanku dengan cara mengirimkan kamu. Aku tidak perlu bertanya lagi siapa kamu. Kamu adalah cinta, yang mengisi kekosongan dalam hatiku. Kamu akan berada di sebelahku saat aku kesepian. Kamu akan mendekapku dengan tangan-tangan kekarmu saat aku menangis, dan membawaku dalam pelukanmu. 
       Aku suka saat kamu menggenggam tanganku dan menciumnya lembut. Aku suka caramu menatap mataku. Aku suka berbagi eskrim denganmu. Aku suka saat berada di jok belakangmu dan memelukmu erat. Aku suka jika kamu mengecup pelan keningku. Dan aku merasa teristimewa saat kamu menyebutku 'My Only Rose'. 
       Tidak banyak kata yang bisa menggambarkan kamu dalam dunia kata-kataku, sama seperti dunia absurdku. Pada saatnya nanti, aku akan sangat takut kehilangan kamu. Tentu saja, kamu kan segalaku. Aku mencintaimu. Itu sudah cukup mewakili segala yang aku rasakan padamu. 
       Terimakasih telah menjadi matahari di pagiku, bintang di malamku. Terimakasih untuk kesabaranmu. Terimakasih karena menjadi pelangi setelah hujanku. Terimakasih telah begitu baik, terimakasih untuk segala perhatianmu. Terimakasih membuat jantungku tetap berdetak. Aku selalu mencintaimu, dan akan selalu seperti itu.


       Kau segalaku :) :*


With love, 
Dedott :* 

      

Karunia Kanker Otak

       Bulan Agustus 2002 aku menerima hadiah terbesar dalam hidupku ketika aku divonis menderita kanker otak tahap akhir dan akan meninggal dalam empat sampai enam bulan. Ketika ini terjadi, aku baru lima bulan menikah. Karierku sedang berjalam dengan baik, keluarga dan teman-teman mencintaiku. Aku belum pernah sebahagia itu. Jadi, mengapa ini adalah karunia besar? Mengapa?
       Karena aku harus menghadapi kematianku.
       Saat itu tengah malam di bulan Januari 2003. Aku berjalan di luar, di tengah cuaca dingin, seorang diri dan merasa pahit. Percobaan klinis yang telah aku masuki penuh dengan ketidakpastian dan bahaya. Aku hanya bisa berpartisipasi karena penyakitku sudah berada ditahap akhir, kemungkinan hidupku sudah minimal. Aku bingung, selalu mual, dan nyaris tidak bisa berjalan, bahkan dengan bantuan tongkat sekalipun. 
       Aku sangat marah pada situasiku: Aku membenci kankerku, para dokter, dan Tuhan. Aku menemukan diriku menjerit, menangis dan mengamuk melawan ketidakadilan. Untuk pertama kalinya dalam 54 tahun, akhirnya aku menemukan kebahagiaan hidupku, dan sekarang penyakit yang mengerikan ini akan mencabutku, bukan hanya dari kebahagiaan hidup, tetapi juga kestabilan, kenyamanan, atau kedamaian. Apakah aku ditakdirkan untuk terpincang-pincang membusuk setiap hari menuju kuburan yang dingin?
      Kemudian tiba-tiba, di tengah kekacauan, muncul sebuah suara ilhami dari seorang teman lama, majikan, dan mentor, W. Clemen Stone, salah satu dari orang-orang pertama yang menulis tentang Positive Mental Attitude (Sikap Mental Positif), atau PMA. Di benakku, aku bisa mendengar dia berkata, seperti yang telah dilakukannya ribuan kali: "Bagi mereka yang memiliki Sikap Mental yang Positif, setiap kejadian buruk mengandung benih dari manfaat yang setara, atau lebih bear lagi."
       Apa?
       Kau serius?
       Manfaat yang lebih besar?
       Apa manfaat yang lebih besar dari sekarat kanker otak, Pak Tua?
       Kata-katanya terus bergema di bagian otakku yang masih  berfungsi. Bukan hanya beberapa kejadian buuk, katanya, tapi semuanya, SETIAP kejadian buruk, mengandung benih manfaat yang setara atau lebih besar! Ah, dia pasti bergurau!
       Untungnya, setelah bertahun-tahun perannya sebagai mentor, guru, dan pahlawan, paling sedkit dia elah meninggalkan bekas-- kata-kata "Aku berpikir rasional" memancar seperti sinar matahari di atas kepalaku. Dia sering menggunakan kata-kata itu--sering sekali dalam menggambarkan situasi kritis yang dia hadapi dalam hidupnya. Pernah kepalanya diacungi pistol oleh seorang yang putus asa dan depresi, yang memberitahu bahwa dia akan kehilangan segalanya-- dia akan membunuh Mr. Stone, lalu membunuh dirinya sendiri. Jika kebanyakan orang panik, Mr. Stone berkata dengan tenang, "Aku berpikir rasional," kemudian melanjutkan dengan memikirkan rencana yang logis, bukan hanya menyelamatkan dirinya sendiri tetapi juga orang itu. Kelak dia menempatkan orang itu dalam bisnisnya, dimana dia menjadi sukses dan makmur selama sisa hidupnya.
       "Jadi," kataku kepada diriku sendiri,"Ayo berpikir." Langsung saja aku merasa damai dan rasional-- untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan. 
       Jadi... apa saja kemungkinannya bagiku? Bagaimanapun, hidup pada titik itu tidak harus menyediakan banyak pilihan yang bagus. Jelas aku tidak punya pilihan untuk 'hidup bahagia selamanya'-- atau apakah aku memilikinya?
       Kenyataannya, salah satu dari dua hal ini akan terjadi: Aku akan meninggal dalam waktu yang tidak lama lagi, atau yang lebih sedikit kemungkinannya, aku akan hidup panjang.
       Jadi, bagaimana jika aku meninggal tidak lama lagi?
       "Aku berpikir" jika aku menjadi sedih dan marah, maka aku akan menghabiskan beberapa bulan terakhir hidupku di dalam kesedihan dan keterasingan, menciptakan neraka hidup bagi orang-orang yang kucintai, dan akan dikenang, kalaupun aku dikenang, sebagai seorang pria tua menyedihkan yang membiarkan kanker otak mengalahkannya. Untuk sementara mereka menunjukkan simpatinya, tetapi pada akhirnya yang tersisa hanyalah rasa tidak suka padaku dan pada caraku meninggalkan mereka. 
       Di sisi lain, bagaimana jika aku positif dan penuh harapan? Itu tidak akan sedikitpun mengubah tanggal kematianku!
       Tetapi, itu berarti aku akan menghabiskan bulan-bulan terakhir hidupku dengan bernapas dalam-dalam dan  bening, puas, damai, dan mencintai keluarga serta setiap orang yang kutemui. Aku akan meninggal sebagai pria yang bahagia, dan dikenang sebagai jiwa berani yang menghadapi kematian dengan gagah, kuat, dan besar hati. Aku akan dihargai oleh orang-orang yang mengenalku. 
       Di sisi lain, bagaimana jika aku berhasil? Bagaimana jika aku tetap hidup?
       Maka aku tidak punya alasan untuk menjadi pahit karena siksaan! Mengapa menyia-nyiakan berbulan-bulan hidupku dengan mengeluhkan akhir yang belum tentu dekat?
       Jadi, begitulah--aku mempunyai semua alasan untuk bersikap positif terhadap kondisiku, dan sama sekali tidak ada alasan untuk bersikap negatif.
       Pada titik itulah, di saat itu juga, untuk pertama kalinya dalam hidup, aku berhenti sekarat dan mulai hidup.
       Aku mulai menceritakan kepada setiap orang yang kujumpai dan kukenal bahwa mendapatkan kanker otak adalah hal terbesar yang terjadi padaku, dan sampai saat ini aku masih memercayainya sepenuh hati.
       Lebih dari setahun yang lalu, aku mengetahui bbahwa kanker otakku telah kembali. Sekarang ini pengobatannya lebih maju san bisa diduga, prognosanya lebih baik; tetapi hasilnya tidak pernah pasti. Setelah satu tahun radiasi dan kemoterapi, para dokter telah memutuskan melanjutkan kemoterapi untuk waktu yang tak terbatas dan menjadwalkan MRI bulanan untukku, tanpa janji apapun.
       Bagaimana beritayang mengganggu ini memengaruhiku? Berita ini bahkan menjadikanku lebih positif lagi!
       Sejak saar khusus itu-- malam yang gelap dan dingin di bulan Januari 2003, aku tidak menyia-nyiakan satu detikpun dari hidupku untuk mengkhawatirkan kematian. Semua waktu dari hari-hariku kuhabiskan untuk hidup.
       Kanker otak yang telah menjadikanku manusia yang lebih baik. Jadi bagaimana denganmu? Kau akan emngalami hal-hal yang baik dan buruk di dalam hidup. Terkadang hidup akan memberi kita keberuntungan besar, terkadang akan mengoyak kita seperti batu bata yang menghantam wajah. 
       Apa yang terjadi pada kita akan tetap terjadi, dan kita hanya punya dua cara untuk meresponnya-- kita bisa menjadi positif dan bahagia, atau negatif dan bersedih. Itu saja. Kabar gembiranya adalah, pilihannya ada di tangan kita! Kita yang memutuskan seberapa bahagianya kita di setiap hari dari hidup kita, di setiap peristiwa hidup, terlepas dari kapan, apa, dan siapa.
       Hari ini juga buatlah keputusan untuk hidup, bukan untuk mati. Untuk menjadi positif, bukan negatif. Kau tidak perlu mengalami tragedi seperti aku untuk menemukannya. Hiduplah setiap hari, setiap menit, setiap detik dari hidup kita :)


oleh : Tom Schumm

with love,
Dedott :*