Rabu, 26 Oktober 2011

Senyumnya di Ujung Senja

Sahabat adalah dia yang tetap memilih untuk tinggal disaat semua dunia menjauh ~

       Kakiku menendang debu. Menendang udara. Entahlah. Sejak tadi bergoyang-goyang tak tentu arah. Sebenarnya itu kulakukan untuk mengahalau resahku. Sudah hampir setengah jam kami berdua duduk di sini, dan tidak ada satu katapun yang keluar dari bibir kami.
       "Aku..." Ucapnya lirih. Penuh keraguan. Ada nada takut dalam suaranya. Tentu saja aku tahu. Aku mengenalnya dengan baik, sebaik aku mengenal diriku sendiri. Aku tetap diam, menunggu kalimat selanjutnya yang akan ia ucapkan.
       "Aku nyesel, Na.." Ujarnya. "Aku tahu aku salah. Seharusnya dulu.."
       "Terus kenapa dulu kamu kamu aja dibegoin? Kenapa kamu lebih milih dia dari pada persahabatan kita?!" Tiba-tiba emosiku muncul. Mataku menjadi panas.
       Perempuan di sampingku itu kembali diam. Mungkin dia kaget dengan reaksiku. Kedua tangannya ditangkupkan pada wajahnya. Punggungnya berguncang. Ia menangis. 
       Aku mencoba menenangkan diriku. Sebelum bertemu dengannya tadi, aku sudah berjanji pada diriku sendiri tak akan terbawa oleh emosi. 
       "Seharusnya..dulu aku dengerin kamu ya, Na. Aku.. Aku bodoh banget. Saat lelaki bajingan itu bilang cinta sama aku, dengan mudahnya aku percaya. Dengan mudahnya aku ambil dia dari kamu. Padahal.. kalian udah pacaran lebih dari dua tahun. Aku hancurin semuanya. Sumpah... aku.. aku emang bego banget." 
       Ia berkata dengan terbata-bata, sesenggukan. Sedangkan aku masih setia dalam diamku, berusaha menahan perasaan yang sejak tadi semakin bergejolak. Kakiku kembali menendang udara. Kunikmati debur ombak dan semilir angin yang berhembus pelan. Dingin. Kurapatkan sweater biruku. 17:23. Mentari sebentar lagi tenggaelam, dan pantai ini semakin sepi. 
       "Aku jahat banget nggak mikirin perasaan kamu. Kamu pasti udah benci sama aku dari awal. Sekarang liat, Rena! Aku hamil 4 bulan. Dia ninggalin aku, semua orang ninggalin aku. Kamu pasti tambah benci kan.... sama aku?" Tanyanya disela tangisnya. 
       "Andaikan ada cara supaya kamu mau maafin aku, apapun itu.... Apapun itu bakal aku lakuin, Na. Aku pengin kita kayak dulu, aku kangen persahabat kita yang dulu. Andai, andai waktu bisa aku ulang.." Tangisnya benar-benar pecah.
       Aku memandang lepas ke arah lautan. Menghela nafas sejenak dan menghembuskannya dengan berat.
      "Kamu tahu nggak Bel, aku nggak pernah benci sama kamu. Dulu aku marahin kamu, bukan karena aku kesel kamu rebut Rio dari aku. Engga sama sekali. Dulu aku cuma minta supaya kamu jangan percaya sama lelaki kayak dia. Cukup aku yang pernah disakitin dia.
       Aku emang sakit hati banget pas kamu akhirnya sama dia. Kamu, sahabatku dari TK! Kita udah sahabatan 15 tahun Bel! aku cuma.. kecewa. Aku tahu busuknya Rio kayak apa, tapi entah kenapa aku nggak bisa lepas dari dia waktu itu. Kita sama-sama bodoh, tapi aku udah sadar, nggak ada gunanya nangisin orang yang bisanya cuma bikin kita capek hati capek pikiran. Kamu liat aku Bella, sakit yang aku rasakan kemarin jadi kekuatanku hari ini. Jadi, lupakan semuanya."
       Bella, sahabatku itu, menghapus air matanya. 
       "Orang lain jauhin aku. Aku udah kotor, aku sampah, Na. Bayi dalam rahimku ini nggak punya ayah saat dia lahir nanti. Kenapa kamu masih peduli sama aku? Aku udah kecewain kamu, tapi kenapa kamu nggak ninggali aku kayak orang lain?"
       Kupandang lagi lautan, kurasakan debur ombaknya, kupandang matahari yang hampir tenggelam itu. Cahaya jingganya menjadikan kami bagai siluet dalam lukisan. 
       Aku menatap matanya. Dalam. Kusentuh tangannya, ku genggam. Bella butuh supportku saat ini. Rasanya akan terlalu egois bila aku hanya mengungkit apa yang membuat kami jadi seperti ini. 
       "Karena sahabat akan memilih tinggal di sampingmu ketika seluruh dunia menjauh."
       Dan dapat kulihat, Senyumnya di ujung senja.

With love, 
Sarithala :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar