Dulu, saat aku dan kamu, kita, akan berpisah, kamu
memaksaku untuk tetap tinggal. Matamu berkaca-kaca, dan sambil menggenggam
tanganku kamu berkata,
"Kamu inget ngga, dulu waktu kita liat bintang berdua pas
ultah jadian kita yang ke-6 bulan, kamu bilang sama aku, kita bakalan terus sama-sama.
Walaupun kita jauhan dan nggak bareng-bareng, tapi kita ngga akan pisah.
Kamu inget kan pernah bilang gitu sama aku, sayang?"
Tanganmu makin erat menggenggam kedua tanganku, aku tahu kamu
ingin menangis. Waktu itu, bisa saja aku memintamu untuk menangis. Menurutku, kamu
tidak perlu menyembunyikan perasaanmu. Menangis tidak selalu berarti lemah.
Tapi aku juga tahu, kamu tidak akan pernah menangis di depanku. Gengsimu
sebagai lelaki yang melarangnya.
"Kenapa kamu cuma diam?" Sekali lagi kamu bertanya.
Kali ini tanganmu memegang bahuku. Tapi aku tidak akan mau menatap matamu
walaupun kamu memaksaku. Aku lebih memilih untuk tetap diam. Dan waktu itu, aku
merasa lebih baik tetap menunduk daripada memandang wajamu, wajah laki-laki yang
dulu amat kusayangi.
"Terlalu banyak kenangan yang udah kita buat. Terlalu banyak
waktu yang aku lalui sama kamu. Aku ngga akan bisa kalau tanpa kamu. Aku ngga
akan bisa lupain semuanya." Kamu masih mencoba mempengaruhi aku,
membujukku untuk tinggal. Apa kamu tahu, semakin banyak kamu mengungkit,
semakin aku ragu dengan keputusan awalku. Tapi aku tahu apa yang seharusnya aku
lakukan.
Kulepaskan kedua tanganmu dari bahuku, dan beranjak duduk di
bangku. Dengan langkah gontai, kamu mengikutiku. Kali ini, kamupun ikut
menunduk. Mungkin kamu sudah mulai lelah bicara padaku dan meyakinkan aku,
tapi aku salah.
"Kalo ngga ada kamu, siapa nanti yang tiap pagi aku dengar
suaranya? Siapa yang ingetin aku makan dan belajar? Siapa yang aku curhatin
lagi kalau aku punya masalah? Siapa nanti yang aku beliin eskrim tiap hari
minggu? Siapa yang peluk aku kalau aku lagi lemah? Siapa yang bakal nyanyiin
lagu buat aku tiap aku mau tidur? Hubungan kita udah lebih dari setahun dan
harus berakhir sampai sini? Aku ngga bisa kalo tanpa kamu..."
Pertanyaan-pertanyaan kamu waktu itu membuat aku hampir menangis.
Mataku sudah panas dan sebentar lagi butir-butir bening bening air siap jatuh.
Tapi untuk waktu itu, hanya sekali itu, aku menahannya untuk kamu. Aku tidak
ingin pertemuan terakhir kita rusak karena air mataku. Andai kamu tahu, malam
sebelum hari itu aku sudah menumpahkan banyak air mataku untuk kamu, untuk
kenangan kita, untuk bintang yang kita lihat bersama, untuk eskrim yang kita
makan tiap hari minggu, untuk boneka kelinci yang kamu beri saat ulang tahunku,
untuk setiap lagu yang kamu cipta untukku, untuk pelukanmu yang selalu kuatkan
aku, untuk semua perhatian yang kamu beri tiap detik, dan untuk ribuan hal
indah lain yang kamu lakukan hanya untukku.
"Aku minta maaf karena ngelakuin ini sama kamu. Aku ngga
bisa nepatin janji-janji yang dulu kita buat. Kalau harus milih, aku juga ngga
mau ninggalin kamu. Tapi ini demi masa depan aku. Aku minta maaf.."
"Tapi aku ngga bisa kalau ngga ada kamu!"
Tiba-tiba kamu membentakku. Mungkin sebagai wujud putus asa dan
kekecewaan kamu padaku, yang hanya bisa meminta maaf. Aku kembali menunduk. Aku
rasa, tanpa perlu aku banyak bicara, kamu sudah mengerti bahwa memang ini yang
terbaik untuk kita berdua. Bukankah sebelumnya kita sudah sering
membicarakannya?
"Kamu bisa sayang. Aku yakin kamu bisa tanpa aku. Kamu
percaya kan? Kamu kuat. Kalau Tuhan mengijinkan, mungkin suatu saat nanti kita
dipersatukan lagi. Kamu harus ingat, hanya karena kita terbiasa bahagia dengan seseorang,
bukan berarti kita tidak bisa bahagia kalau tanpa dia."
Setelah
berkata seperti itu, aku memelukmu dan meminta maaf untuk terakhir kali. Aku
meninggalkan kamu yang terdiam dan terus saja memandangiku.
Aku tahu aku jahat. Tapi, waktu itu aku sama sakitnya dengan
kamu. Siapa yang tidak sedih jika harus meninggalkan orang yang kita sayang?
Tapi aku menyerah pada keadaan. Waktu itu aku belum siap jika harus menjalin
hubungan yang terpisahkan oleh jarak yang begitu jauh. Aku rasa hal itu tidak
akan berhasil. Maka aku memilih untuk mengabaikan kamu yang terluka.
Kamu bilang bahwa kamu tidak akan bisa tanpa aku. Tapi seiring berjalannya waktu, aku
tahu hal itu tidak lagi berlaku. Siapapun, tidak ada yang siap untuk
kehilangan seseorang yang berarti bagi dia. Tapi bagaimanapun juga, mau tidak
mau, kita harus menerimanya. Rasa
sakit adalah pembelajaran. Bila
dalam suatu hubungan kamu masih sering bersikap egois, pemaksa, atau pemarah,
setelah putus kamu harus belajar bahwa hal itu salah, bahwa mungkin karena hal
itu hubungan kalian berakhir. Dan kamu harus menyadari bahwa hal itu salah dan
mencoba untuk bersikap lebih baik lagi dalam hubunganmu yang selanjutnya. Bila
sudah seperti itu, berarti kamu sudah belajar :)
Finally,
kamu bisa tanpa aku. Mungkin sekarang kamu sudah bisa tersenyum tanpa aku. Kamu
mungkin sudah melupakan rasa sakitmu. Aku tahu kamu belajar dari hubungan kita
dulu. Mungkin kamu sudah temukan seseorang yang baru saat ini. Ya, kamu bisa.
Maka, selamat berbahagia! :)
With
love,
Dedott
:*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar