Senin, 07 November 2011

Monolog : Aku dan Hati Nurani

“Hey! Apa yang baru saja kamu lakukan?!”

“Aku? Aku hanya mengambil dompet milik seorang lelaki yang tadi duduk di sebelahku. Kenapa?”

“Kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan itu?”

“Apa maksudmu? Tentu saja aku sadar. Aku butuh uang. Aku lelah bekerja sebagai pemulung. Tiap hari berjalan jauh, mengorek tong sampah demi tong sampah hanya untuk mendapat beberapa botol minuman atau kardus-kardus bekas. Yang kudapat tiap harinya tidak begitu banyak,lagi pula, hasil yang kuperoleh tidak sebanding dengan kerja kerasku. Aku hanya mendapat 5000 sampai 7000 rupiah setiap hari. Bukankah itu jumlah yang sangat sedikit?”

“Lalu karena itu kamu mencopet?”

“Aku... Aku tidak mencopet. Aku hanya mengambil saja.”

“Mencuri maksudmu? Bukankah mengambil barang yang bukan milikmu sama saja dengan mencuri? Tentu kau ingat Ibumu pernah mengucapkan hal itu.”

“Tidak, aku tidak mencuri! Ah, sudahlah. Itu tidak penting. Ibuku sangat membutuhkan uang ini. Bulan depan adik perempuanku akan masuk SD, tentu butuh biaya yang sangat banyak. Aku tidak mungkin bisa membantu Ibuku kalau hanya dengan memulung seperti ini. Coba kita lihat, berapa yang ada di dalam sini. Hmm, hanya 100.000 saja? Huh, padahal penampilannya necis, rapi, seperti orang berpunya saja, ternyata yang ada di dalam dompetnya hanya segini?”

“Kau bilang hanya 100.000? Bukankah itu jumlah yang banyak bagimu? Apa kau tidak bangga dengan hasil curian pertamamu?”

“Sudah kubilang aku tidak mencuri! Kau diam sajalah!”

“Baiklah, aku akan diam. Hey, ada kertas yang terselip di dekat uang itu. Apa isinya?”

“Kertas? Ini maksudmu? Mungkin ini surat milik si empunya dompet. Tidak penting. Mungkin lebih baik kubuang saja.”

“Tunggu dulu, siapa tahu itu cek berharga yang bisa dijadikan uang? Bukankah akan lebih menguntungkan bagimu?”

“Benar juga. Baiklah, akan kubuka. Untuk Bapak dan Ibu di desa... Maaf anakmu ini baru memberi kabar. Menyambung surat yang Yusuf kirimkan seminggu yang lalu.. Alah, ini hanya surat biasa! Tidak berguna sama sekali!”

“Jangan banyak bicara, teruskan saja membacanya! Aku ingin tahu apa isi surat itu!”

“Oh.. dasar kau Suara Hati cerewet! Tapi baiklah, asal kau tidak banyak bicara lagi. 

Yusuf ingin memberi tahu kepada Bapak, juga Ibu. Hari kamis yang lalu, Yusuf baru menerima gaji pertama Yusuf sebagai Karyawan tidak tetap. Tidak banyak memang, hanya 500.000 rupiah. Tapi Yusuf bangga, karena akhirnya Yusuf bisa mendapatkan uang dengan hasil keringat Yusuf sendiri. Tapi Pak, Bu, maafkan Yusuf. Yusuf belum bisa mengirimi kalian berdua uang Yusuf ini. Dulu, Yusuf pernah bernadzar, jika Yusuf mendapatkan gaji pertama, seluruh gaji Yusuf itu akan Yusuf sedekahkan kepada mereka yang lebih membutuhkan. 

Sebagian besar hasil gaji tadi Yusuf sumbangkan ke panti asuhan tak jauh dari kantor Yusuf, dan sisanya Yusuf belikan makanan untuk Yusuf bagikan ke anak-anak jalanan yang Yusuf temui kemarin. Yusuf bahagia sekali saat melihat wajah anak-anak yang riang saat Yusuf membagikan nasi bungkus kepada mereka. Walaupun hanya sebungkus nasi, tapi dengan niat yang ikhlas memberi, Yusuf yakin akan besar nilainya di mata Allah.

Uang yang sekarang ada di dompet Yusuf memang tidak seberapa, tapi insyaalloh cukup kalau hanya untuk Yusuf sendiri disini. Doakan anakmu ini, Pak, Bu, supaya Yusuf lebih rajin bekerja, dan bisa secepatnya mengirim uang kepada kalian berdua. Jaga kesehatan Bapak dan Ibu selalu, salam sayang, anakmu, Yusuf Mawardi.”

“Wah, sungguh mulia hati lelaki yang dompetnya kau curi ini. Dia rela menyumbangkan seluruh gajinya untuk membantu orang lain yang lebih membutuhkan. Ngomong-ngomong, kenapa sekarang kau diam, kawan?”

“Aku... Emm, ternyata, lelaki ini.....”

“Kenapa dengan lelaki ini?”

“Dia.. yang memberiku nasi bungkus di dekat lampu merah 2 hari yang lalu itu.”

“Benarkah? Sungguh kebetulan ya. Dan sekarang, dompet yang isinya tidak seberapa ini, berada ditanganmu? Apa kau bangga telah melakukannya?”

“Aku.. Tapi aku membutuhkan uang ini!”

“Kamu yakin, membutuhkan uang yang tidak halal ini?”

“Kenapa kau terus saja mengurusiku? Aku tidak peduli, yang penting aku butuh..”

Aku hati nuranimu! Aku bertugas mengingatkanmu. Apa kau tahu, Tuhan tidak senang dengan hamba-Nya yang berbuat kelicikan, apa kau tahu seberapa besar dosamu jika mencuri?”

“Aku.. tidak tahu..”

Jika bisa mendapatkan uang dengan cara yang halal, kenapa kau memilih cara yang kotor? Pikirkanlah lelaki pemilik dompet ini. Dia yang memberimu nasi bungkus dengan uang gajinya itu, dan sisanya yang tinggal sedikit, yang harusnya ia pergunakan untuk pegangan, malah kau curi. Apa kau tidak merasa kalau dirimu benar-benar jahat?”

“Tidak, aku tidak bermaksud seperti itu sebelumnya...”

“Kenapa kau masih menyangkal? Lalu sekarang, coba pikirkan Ibumu. Mungkin nanti dia bakal senang dengan uang yang kamu beri itu. Kamu bisa saja mengatakan uang itu hasil tabunganmu selama ini, agar dia tidak curiga. Tapi bayangkan seandainya ia tahu yang sebenarnya, bahwa uang ini hasil mencuri? Bagaimana perasaan ibumu? Dia akan sedih, dia akan menangis! Kamu, anaknya satu-satunya, yang ia harapkan sebagai pengganti ayahmu setelah beliau meninggal, seharusnya bisa memberi contoh yang baik bagi adikmu. 

Apa kamu tahu, Ibumu lelah bekerja selama ini sebagai buruh kasar, bangga melihat kerja kerasmua selama ini. Walaupun hanya memulung dan hasilnya tidak banyak, paling tidak itu hasilmu sendiri, dari perbuatan yang halal! Apa kamu tidak mengetahuinya? Ibumu selalu mengajarkanmu untuk selalu bertindak benar, jujur dalam setiap perbuatanmu. Jika sekarang kamu mencuri, bukankah sia-sia semua nasihat beliau?”

Dan hey, kenapa sekarang kau malah memangis?”

“Aku.. Aku sungguh menyesal. Aku menyesal telah melakukan semua ini. Walaupun aku berusaha menyangkal semua yang kau bilang karena aku butuh uang ini, tapi nyatanya memang benar. Aku seharusnya berfikir kalau ini salah dan aku tidak melakukan perbuatan bodoh ini!”

“Sudahlah kawan, hapus segera air matamu. Apa kau tidak malu jika ada yang melihatnya nanti? Seorang lelaki harus tegar, kau tahu kan? Jadi, menurutmu, apa yang sebaiknya kau lakukan sekarang?”

“Emm, aku rasa.. aku harus mengembalikan dompet ini kepada lelaki itu. Aku harus meminta maaf padanya.”

“Meminta maaf? Apa kau tidak takut dia akan marah dan melaporkanmu ke polisi?”

“Tidak, aku tidak takut. Yang penting aku sudah jujur. Seperti nasihat Ibuku, kita tidak perlu takut kalau kita jujur.”

“Bagus! Inilah kamu yang selama ini ku kenal! Sebuah tindakan terpuji bila kita mau mengakui kesalahan kita. Aku bangga menjadi Hati Nurani-mu. Hey, untuk apa masih diam disini? Ayo, cepat kita cari pemilik dompet ini! Siapa tahu dia masih ada di tempat tadi kau mengambilnya.”

“Oh iya benar juga. Hati Nurani..”

“Ya?”

“Terimakasih. Untung aku mendengarkanmu.”


With love, 
Dedott :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar