“Hey! Apa yang baru
saja kamu lakukan?!”
“Aku? Aku hanya
mengambil dompet milik seorang lelaki yang tadi duduk di sebelahku. Kenapa?”
“Kamu sadar dengan apa
yang kamu lakukan itu?”
“Apa maksudmu? Tentu saja
aku sadar. Aku butuh uang. Aku lelah bekerja sebagai pemulung. Tiap hari
berjalan jauh, mengorek tong sampah demi tong sampah hanya untuk mendapat
beberapa botol minuman atau kardus-kardus bekas. Yang kudapat tiap harinya
tidak begitu banyak,lagi pula, hasil yang kuperoleh tidak sebanding dengan
kerja kerasku. Aku hanya mendapat 5000 sampai 7000 rupiah setiap hari. Bukankah
itu jumlah yang sangat sedikit?”
“Lalu karena itu kamu
mencopet?”
“Aku... Aku tidak
mencopet. Aku hanya mengambil saja.”
“Mencuri maksudmu?
Bukankah mengambil barang yang bukan milikmu sama saja dengan mencuri? Tentu
kau ingat Ibumu pernah mengucapkan hal itu.”
“Tidak, aku tidak
mencuri! Ah, sudahlah. Itu tidak penting. Ibuku sangat membutuhkan uang ini.
Bulan depan adik perempuanku akan masuk SD, tentu butuh biaya yang sangat
banyak. Aku tidak mungkin bisa membantu Ibuku kalau hanya dengan memulung
seperti ini. Coba kita lihat, berapa yang ada di dalam sini. Hmm, hanya 100.000
saja? Huh, padahal penampilannya necis, rapi, seperti orang berpunya saja,
ternyata yang ada di dalam dompetnya hanya segini?”
“Kau bilang hanya
100.000? Bukankah itu jumlah yang banyak bagimu? Apa kau tidak bangga dengan
hasil curian pertamamu?”
“Sudah kubilang aku
tidak mencuri! Kau diam sajalah!”
“Baiklah, aku akan
diam. Hey, ada kertas yang terselip di dekat uang itu. Apa isinya?”
“Kertas? Ini maksudmu?
Mungkin ini surat milik si empunya dompet. Tidak penting. Mungkin lebih baik
kubuang saja.”
“Tunggu dulu, siapa
tahu itu cek berharga yang bisa dijadikan uang? Bukankah akan lebih
menguntungkan bagimu?”
“Benar juga. Baiklah,
akan kubuka. Untuk Bapak dan Ibu di desa... Maaf anakmu ini baru memberi kabar.
Menyambung surat yang Yusuf kirimkan seminggu yang lalu.. Alah, ini hanya surat
biasa! Tidak berguna sama sekali!”
“Jangan banyak bicara,
teruskan saja membacanya! Aku ingin tahu apa isi surat itu!”
“Oh.. dasar kau Suara
Hati cerewet! Tapi baiklah, asal kau tidak banyak bicara lagi.
Yusuf ingin memberi
tahu kepada Bapak, juga Ibu. Hari kamis yang lalu, Yusuf baru menerima gaji
pertama Yusuf sebagai Karyawan tidak tetap. Tidak banyak memang, hanya 500.000
rupiah. Tapi Yusuf bangga, karena akhirnya Yusuf bisa mendapatkan uang dengan
hasil keringat Yusuf sendiri. Tapi Pak, Bu, maafkan Yusuf. Yusuf belum bisa
mengirimi kalian berdua uang Yusuf ini. Dulu, Yusuf pernah bernadzar, jika
Yusuf mendapatkan gaji pertama, seluruh gaji Yusuf itu akan Yusuf sedekahkan
kepada mereka yang lebih membutuhkan.
Sebagian besar hasil gaji tadi Yusuf
sumbangkan ke panti asuhan tak jauh dari kantor Yusuf, dan sisanya Yusuf
belikan makanan untuk Yusuf bagikan ke anak-anak jalanan yang Yusuf temui
kemarin. Yusuf bahagia sekali saat melihat wajah anak-anak yang riang saat
Yusuf membagikan nasi bungkus kepada mereka. Walaupun hanya sebungkus nasi,
tapi dengan niat yang ikhlas memberi, Yusuf yakin akan besar nilainya di mata
Allah.
Uang yang sekarang ada
di dompet Yusuf memang tidak seberapa, tapi insyaalloh cukup kalau hanya untuk
Yusuf sendiri disini. Doakan anakmu ini, Pak, Bu, supaya Yusuf lebih rajin
bekerja, dan bisa secepatnya mengirim uang kepada kalian berdua. Jaga kesehatan
Bapak dan Ibu selalu, salam sayang, anakmu, Yusuf Mawardi.”
“Wah, sungguh mulia
hati lelaki yang dompetnya kau curi ini. Dia rela menyumbangkan seluruh gajinya
untuk membantu orang lain yang lebih membutuhkan. Ngomong-ngomong, kenapa
sekarang kau diam, kawan?”
“Aku... Emm, ternyata,
lelaki ini.....”
“Kenapa dengan lelaki
ini?”
“Dia.. yang memberiku
nasi bungkus di dekat lampu merah 2 hari yang lalu itu.”
“Benarkah? Sungguh
kebetulan ya. Dan sekarang, dompet yang isinya tidak seberapa ini, berada
ditanganmu? Apa kau bangga telah melakukannya?”
“Aku.. Tapi aku
membutuhkan uang ini!”
“Kamu yakin,
membutuhkan uang yang tidak halal ini?”
“Kenapa kau terus saja
mengurusiku? Aku tidak peduli, yang penting aku butuh..”
“Aku hati nuranimu!
Aku bertugas mengingatkanmu. Apa kau tahu, Tuhan tidak senang dengan hamba-Nya
yang berbuat kelicikan, apa kau tahu seberapa besar dosamu jika mencuri?”
“Aku.. tidak tahu..”
“Jika bisa mendapatkan
uang dengan cara yang halal, kenapa kau memilih cara yang kotor? Pikirkanlah
lelaki pemilik dompet ini. Dia yang memberimu nasi bungkus dengan uang gajinya
itu, dan sisanya yang tinggal sedikit, yang harusnya ia pergunakan untuk
pegangan, malah kau curi. Apa kau tidak merasa kalau dirimu benar-benar jahat?”
“Tidak, aku tidak
bermaksud seperti itu sebelumnya...”
“Kenapa kau masih
menyangkal? Lalu sekarang, coba pikirkan Ibumu. Mungkin nanti dia bakal senang dengan
uang yang kamu beri itu. Kamu bisa saja mengatakan uang itu hasil tabunganmu
selama ini, agar dia tidak curiga. Tapi bayangkan seandainya ia tahu yang
sebenarnya, bahwa uang ini hasil mencuri? Bagaimana perasaan ibumu? Dia akan
sedih, dia akan menangis! Kamu, anaknya satu-satunya, yang ia harapkan sebagai
pengganti ayahmu setelah beliau meninggal, seharusnya bisa memberi contoh yang
baik bagi adikmu.
Apa kamu tahu, Ibumu
lelah bekerja selama ini sebagai buruh kasar, bangga melihat kerja kerasmua selama
ini. Walaupun hanya memulung dan hasilnya tidak banyak, paling tidak itu
hasilmu sendiri, dari perbuatan yang halal! Apa kamu tidak mengetahuinya? Ibumu
selalu mengajarkanmu untuk selalu bertindak benar, jujur dalam setiap
perbuatanmu. Jika sekarang kamu mencuri, bukankah sia-sia semua nasihat
beliau?”
Dan hey, kenapa
sekarang kau malah memangis?”
“Aku.. Aku sungguh
menyesal. Aku menyesal telah melakukan semua ini. Walaupun aku berusaha
menyangkal semua yang kau bilang karena aku butuh uang ini, tapi nyatanya
memang benar. Aku seharusnya berfikir kalau ini salah dan aku tidak melakukan
perbuatan bodoh ini!”
“Sudahlah kawan, hapus
segera air matamu. Apa kau tidak malu jika ada yang melihatnya nanti? Seorang
lelaki harus tegar, kau tahu kan? Jadi, menurutmu, apa yang sebaiknya kau
lakukan sekarang?”
“Emm, aku rasa.. aku
harus mengembalikan dompet ini kepada lelaki itu. Aku harus meminta maaf
padanya.”
“Meminta maaf? Apa kau
tidak takut dia akan marah dan melaporkanmu ke polisi?”
“Tidak, aku tidak
takut. Yang penting aku sudah jujur. Seperti nasihat Ibuku, kita tidak perlu
takut kalau kita jujur.”
“Bagus! Inilah kamu
yang selama ini ku kenal! Sebuah tindakan terpuji bila kita mau mengakui
kesalahan kita. Aku bangga menjadi Hati Nurani-mu. Hey, untuk apa masih diam
disini? Ayo, cepat kita cari pemilik dompet ini! Siapa tahu dia masih ada di
tempat tadi kau mengambilnya.”
“Oh iya benar juga.
Hati Nurani..”
“Ya?”
“Terimakasih. Untung
aku mendengarkanmu.”
With love,
Dedott :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar