Cerpen ini saya ambil dari buku kumpulan cerpen terjemahan, Chicken Soup, yang di dalamnya berisi banyak cerpen yang semuanya adalah pengalaman pribadi sang penulis. Cerita-ceritanya sangat memotivasi, dan salah satu yang saya ambil ini judulnya Memudar Perlahan, karya Kendal Kelly. Cerpen ini kadang saya baca saat saya baru saja kehilangan seseorang. Cerpen ini bisa menguatkan saya, dan mengajarkan saya, bahwa kehilangan tidak sesakit yang saya kira sebelumnya :)
Saat menunduk bagian dalam sepatu lari Strawberry Shortcake-ku, aku sadar namanya, Forrest David, sudah memudar. Kutelurusi tanda tangannya dengan jariku, mengingat hari ketika ia menandatangani sepatuku dengan pena ayahnya saat aku duduk di bandara Austin, air mata mengaburkan penglihatanku.
Itulah yang ia lakukan, pikirku, perlahan memudar dari kehidupanku. Namun aku tetap mengingat semuanya, setiap saat aku bersamanya, membayangkan semua gerakan, senyum, dan ciumannya. Aku tidak pernah berpikir seseorang bisa begitu berarti bagiku. Ia begitu menawan hingga hatiku nyeri saat aku menatapnya. Tapi sekarang memikirkannya saja sudah menyakitkan. Kuingat-ingat wajahnya: alis gelap, mata biru-kehijauan, rambut kusut. Tangannya, coklat terbakar matahari dan kuat, bisa membungkus tanganku sendiri. Aku tidak pernah mencintai orang lain seperti aku mencintai Forrest.
Pertama kali melihatnya, aku berdiri diam, meresapi kehadirannya. Dan ketika akhirnya memilikinya, aku nyaris menangis karena tak pernah merasa begitu hidup. Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri di sana memeluknya, menghirup aromanya dengan wajah menempel di kemejanya. Aku tahu aku tak ingin melepaskannya.
Aku menangis pahit pada hari kami berpisah, merasa sangat sendirian ketika melihat ia menghilang di terminal bandara. Aku merasakan asinnya air mataku, sangat marah pada dunia dan kehidupan. Aku sudah menemukan cintaku, pria yang akan mendampingiku selamanya, dan hidup telah memilih untuk bersikap kejam dan tidak adil, saling memisahkan kami sejauh sembilan ratus lima enam puluh kilometer. Sama saja seperti lima belas juta kilometer. Aku merasa hatiku akan hancur.
Aku menghela napas ketika mengingat kenangan menyakitkan itu, tapi aku tidak menangis. Aku tidak punya air mata lagi untuknya.
Mereka bilang cinta sejati takkan pernah sirna. Aku tidak tahu definisi yang tepat untuk perasaanku, tapi bagiku Forrest-lah yang paling mendekati kategori itu. Ia sekarang sudah pergi, dan mimpiku pecah berderai karena kenyataan yang kejam. Tadinya kupikir kami ditakdirkan untuk bersama selamanya, dan aku sangat mencintainya. Dua remaja yang hidup saling berjauhan seperti kami biasanya takkan berhasil menjalin hubungan. Kupikir kami akan lain, kami akan cukup kuat untuk menghadapinya. Aku salah. Ketika pergi, ia membawa sekeping hatiku bersamanya. Dan kepingan hatiku kini melayang-layang di suatu tempat di Austin.
Selama beberapa saat aku tidak bisa makan atau tidur. Aku merasa begitu mual dan kosong. Aku merasa takkan bisa meneruskan hidup tanpa dirinya. Kini, ketika mengenangnya kembali, aku melihat bahwa saat itu adalah waktu berkabung—aku berkabung atas hilangnya hubungan yang sudah terjalin selama dua tahun. Waktu itu aku merasa deritaku takkan pernah berakhir.
Lalu, suatu pagi aku bangun, dan perasaan mual di perutku hilang. Saat itulah aku tahu aku akan baik-baik saja, bahwa aku tidak lagi memerlukannya. Aku mulai hidup lagi. Saat kukenang lagi, satu-satunya pemberiannya yang akan bisa selamanya ku bawa adalah kekuatan jiwaku yang kutemukan dengan bantuannya. Kekuatan itu akan mendampingiku menghadapi semua rasa sakit, semua luka, dan aku akan selamat. Aku memilikinya sejak dulu; aku hanya tak bisa benar-benar menemukannya. Terima kasih, Forrest.
Aku tersenyum ketika mengingatnya, dan kemudian perlahan melepaskan sepatu lariku serta melupakannya.
With love,
Dedott :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar