Kamis, 10 November 2011

Monolog : Cinta dan Agama


A: “Jadi, bagaimana jawabanmu?”

B: “Sepertinya aku tidak bisa.”

A: “Lho, memangnya kenapa? Kita sudah lama dekat, kau juga pernah bilang tentang perasaanmu, kenapa sekarang kamu menolakku? Apa lagi? Kerjaanku kurang mapan? Wajahku kurang tampan buatmu?”

B: “Pokoknya aku tidak bisa mas, maaf.”

A: “Ya kenapa? Beri aku alasan. Aku kekuranganku?”

B: “Bukan masalah itu... Kamu baik, kamu lelaki mapan, kamu tampan, aku suka. Aku sayang kamu mas, tapi kita berbeda.”

A: “Beda? Beda bagaimana maksudmu?”

B: “Agama kita.”

A: “Agama? Agama kita berbeda? Lalu kenapa kalau agama kita beda? Hanya karena aku Katolik dan kamu Islam, kenapa harus jadi masalah?”

B: “Ya aku tidak bisa. Kamu pikirkan ke depannya dong mas. Umurku hampir 25 tahun, aku pacaran bukan mau main-main lagi. Aku sudah dewasa dan orangtuaku sudah mulai membicarakan tentang pernikahanku. Kalau misal kita pacaran dan nantinya merencanakan pernikahan, orangtuaku tidak bakal setuju mas.”

A: “Hanya gara-gara itu? Ayolah, apanya yang salah?”

B: “Setahuku, memang tidak ada yang salah dengan cinta. Hanya soal waktu dan keadaan.”

A: “Lalu, kenapa harus kita permasalahkan? Bukankah kita ada di Indonesia, negara yang melihat perbedaan sebagai keindahan? Lagi pula, cinta tidak memandang agama.”

B: “Cinta memang tak memandang agama, tapi kadang cinta gagal menyatukan agama walau dua orang saling jatuh cinta.”

A: “Tapi bagaimana dengan aku, dengan kita?”

B: “Gelap tak mungkin bersatu dengan terang. Aku memang menyayangimu mas, tapi aku tidak bisa mencintai orang yang tidak mencintai Tuhanku.”

A: “Tidak ada istilah Tuhan-ku atau Tuhan-mu. Tuhan ya Tuhan. Dia Esa, satu. Cara kita menyembahnya saja yang berbeda. Apakah seseorang yang mencintai kamu harus memeluk agama yang sama denganmu?”

B: “Bukan seperti itu maksudku mas. Bagiku agamaku, bagimu agamaku. Jalani saja pilihanmu, kita saja yang tidak bisa bersatu.”

A: “Sebenarnya, apa yang salah dari mencintai orang yang tempat ibadahnya berbeda dengan kita?”

B: “Entahlah, aku belum pernah berpikir sejauh itu.”


With love,
Dedott :)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar